Kamis, 05/04/2018
Kamis, 05/04/2018
Kamis, 05/04/2018
oleh:
Bambang Iswanto, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Samarinda
Dalam lintasan sejarah, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali ujian untuk tetap bertahan sebagai ideologi dan bentuk negara. Upaya-upaya yang yang terstruktur ataupun tidak terstruktur terus mengalami kegagalan dalam merongrong Pancasila dan NKRI. Sebut saja misalnya Partai Komunis Indonesia(PKI) sebagi partai besar pada zamannya telah dua kali mencoba mengkhianati bangsa Indonesia. Pertama, pemberontakan Madiun yang dikomandoi oleh Muso pada 1948 berhasil ditumpas oleh pemerintah dan rakyat. Banyak korban yang jatuh akibat pemberontakan PKI di Madiun ini termasuk warga NU, yang kedua adalah pemberontakan pada tahun 1965 yang ditumpas habis oleh pemerintah dengan organ militernya serta bantuan rakyat. Bukan hanya PKI, kekuatan-kekuatan sparatis lainpun pernah muncul untuk merongrong Pancasila dan NKRI seperti gerakan Negara Islam Indonesia dan DI/ TII yang muncul dari kelompok yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Semua mengalami kegagalan dengan bukti Indonesia masih dapat mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara hingga saat ini.
Tercatat juga dalam sejarah bagaimana Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar selalu bersama dengan pemerintah yang sah selalu memberikan kontribusi aktif dalam setiap upaya perongrongan Pancasila dan NKRI. Ini terjadi dari awal adanya pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan hingga sekarang. Tidak mengherankan mengapa NU berjihad untuk selalu mengamankan eksistensi Pancasila dan NKRI disebabkan Pancasila sendiri lahir dari kontribusi yang diberikan oleh NU melalui KH. Wachid Hasyim sebagai bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan Pancasila. NU memiliki tanggung jawab besar untuk membelanya sebagai bagian penting dari kesepakatan dari founding fathers negara besar ini.
Konsistensi NU dalam Mengawal Pancasila dan NKRI
Dari
awal pembentukan organisasi, Nahdlatul Ulama sudah memliki sikap tegas tentang
konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), bentuk inisudah final
didasarkan hasil perjuangan seluruh komponen
masyarakat Indonesia --termasuk umat Islam di dalamnya– dalam mendirikan negara. NKRI adalah negara yang
sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang
akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, dan tidak diperlukan negara yang baru. Fakta
historis atas ketegasan sikap dan tanggung jawab mengawal NKRI adalahNU mengumandangkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945,
mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib,
termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah.
Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan,
baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang.Muktamar ke-29 di Cipasung
Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU juga mengeluarkan
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil
Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan Pandangan dan
Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan yang semakin
mengukuhkan dukungan kongkret NU terhadap eksistensi NKRI.
Sebelum Muktamar Cipasung, terselenggara Muktamar Situbondo pada tahun 1983. Pada momentum tersebut dilaksanakan juga Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang merumuskan sebuah deklarasi penting “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini memuat lima butir penegasan sikap nahdlatul Ulama dalam menafsirkan salah sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berikut bunyi deklarasi secara lengkap:
Bismillahirrahmanirrahim,
1.
Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat
menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan
agama.
2.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain,
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.
Bagi
Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah,
meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4.
Penerimaan
dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syari’at agamanya.
5.
Sebagai
konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.
Deklarasi ini
sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang hubungan agama dan negara
di Indonesia, sekaligus memperkuat basis teologis penerimaan NU atas kenyataan
negara-bangsa (nation state) yang
pluralistik dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai ijtihad politik
yang tepat. KH Achmad Siddiq, tokoh intelektual di balik Deklarasi
tersebut, mengemukakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang
terpisah, namun tidak saling bertentangan: Pancasila adalah ideologi, sedangkan
Islam adalah agama. Kyai Achmad
lebih lanjut mengatakan:
"Dasar
negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling
menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan.
Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang
lain." Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983
kembali menegaskan pemikiran politik keagamaan NU dalam merekonsiliasi
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dengan Islam sebagai agama dan
aqidah. NU secara eksplisit menjelaskan dasar negara yang dimaksud, yakni
Pancasila yang ber"Ketuhanan Yang Maha Esa" tanpa tambahan
"dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.""Mengenai Pancasila, NU berpendapat bahwa
sesungguhnya rumusan nilai-nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia
sudah tuntas dengan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Semua
pihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang) dasar negara menurut
bunyi dan maknanya yang terkandung dalam UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh dan
penjelasannya) itu.
Satu tahun setelah deklarasi Situbondo
NU menggelar Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Muktamar
ini adalah muktamar NU yang menjadi catatan sejarah penting yang menandai
hubungan antara NU dan Pancasila. Dalam muktamar ini, di samping memutuskan NU
kembali ke Khittah 1926, NU secara tegas menerima pancasila sebagai asas
organisasi.
Ketika memutar ulang sejarah panjang
yang evolutif tentang kontribusi besar NU dalam mempertahan Pancasila dan NKRI,
tergambar keistiqamahan organisasi ini menjalankan peran garda terdepan sebagai
pembela Pancasila dan NKRI meski selalu dengan risiko berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan besar lain.
KIPRAH NU DI
KALIMANTAN TIMUR DALAM MENGAWAL PANCASILA DAN NKRI
Sebagaimana organisasi lain pada umumnya, NU memiliki
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang menjadi aturan main
dalam berorganisasi yang wajib diikuti oleh seluruh anggotanya di manapun, baik
yang ada di dalam negeri maupun luar negeri, termasuk yang terdapat di
Kalimantan Timur. Di antara tuntutan organisasi adalah wajib menjalankan visi,
misi, dan tujuan organisasi, di antaranya adalah merawat dan mempertahankan
Pancasila dan NKRI.
Ancaman terhadap Pancasila dan NKRI saat ini memang
bukan dalam bentuk rongrongan fisik seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Ancaman dan tantangan lebih bersifat upaya-upaya progressif menggeser peran
penting Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, terdapat
individu-individu ataupun kelompok dan organisasi yang berupa membenturkan
nilai Pancasila dengan nilai Islam. Ada pula upaya propoganda yang ingin
menghadirkan romantisme sejarah khilafah di Indonesia termasuk di Kalimantan Timur.
Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur yang berfaham ahlussunah
wal jama’ah an-nahdliyyah-nya mengambil peran aktif dalam membentengi warga
nahdliyyin sendiri maupun masyarakat umum untuk selalu setia kepada Pancasila
dan NKRI. Program-program kerja yang disusun
oleh NU dari tingkat Pengurus Wilayah sampai tingkat ranting dengan badan
otonom, lembaga, dan lajnahnya senantiasa menginternalisasikan penguatan bela
negara dan Pancasila. Hampir seluruh kegiatan warga Nahdliyyin selalu
menyinggung tentang pentingnya cinta terhadap tanah air. Lagu Yaa Lal Wathan
gubahan KH. Wahab Hasbullah, lagu patriotis yang berisi syair-syair tentang
kecintaan tanah air hampir seluruh momentum kegiatan warga Nahdliyyin selalu
didendangkan untuk memupuk rasa kecintaan tanah air dan negara. Dalam sebuah
untaian syairnya terdapat redaksi “Hubbul Wathan minal iimaan” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Iman harus
diimplementasikan dalam wujud mencintai tanah air.
NU Kalimantan Timur baik secara organ organisasi maupun
warga nahdliyyin senantiasa mengambil peran aktif dalam mendukung dan berperan
aktif terlibat dalam gerakan dan organisasi-organisasi yang memiliki visi dan
misi mencintai persatuan dan kesatuan bangsa seperti forum-forum kerukunan umat
beragama dan forum-forum damai lainnya. NU Kalimantan Timur tidak sungkan untuk
berkolaborasi dengan institusi manapun dalam kerangka pikir (fikrah),
gerakan (harakah), dan peran aktif (amaliyah) dalam mewujudkan
perdamaian, persatuan, dan kesatuan dalam bingkai Pancasila dan NKRI. Tokoh-tokoh,
serta ulama-ulama NU Kalimantan Timur menjadi selalu mnggaungkan arti
pentingnya Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 sebagai alat
pemersatu bangsa.
Pada setiap kesempatan pertemuan terlebih pada momentum
pengkaderan di kalangan NU Kalimantan Timur selalu terdapat ‘menu’ penguatan cinta tanah air dan kesetiaan terhadap
Pancasila. Ada menu lain yang tidak pernah luput yaitu menangkal paham-paham
yang menodai nilai keislaman, Pancasila, dan NKRI. Nalar pikir kader NU
dibangun atas dasar tidak ada pertentangan antara nilai Pancasila dan Islam.
Pemahaman dikonstruks bahwa Pancasila terbukti mampu menjadi perekat bangsa
Indonesia dari awal terbentuknya hingga saat ini. Paham dan gerakan yang ingin
menggantikan pancasila sebagai dasar negara akan ditentang oleh NU Kalimantan
Timur, NU siap menghadang paham-paham sektarian, radikalisme, yang mengancam
Pancasila dan menjadi bibit disintegritas di Bumi Etam Kalimantan Timur.
Atribut ahlussunah wal jama’ah an-nahdliyyah dengan lima pilar mabadi’ khairu ummah-nya yaitu: ash-Shidqu (kejujuran), al-amanah wal wafa’ bil ‘ahdi (dapat dipercaya dan menepati janji), al-’adaalah (adil dan obyektif), at-ta’aawun (saling tolong menolong), dan al-istiqamah (konsisten
dalam kebenaran) diimplementasikan dalam segala segmen kehidupan, baik dalam
konteks keislaman, kemanusiaan, serta konteks bermasyarakat dan bernegara.
Akhir
Kalam
Ketika sejarah membuktikan peran penting NU dalam kancah Negara
Indonesia, penting bagi segenap warganya untuk senantiasa istiqamah menjalankan
peran tersebut. Sebentar lagi NU Kalimantan Timur melaksanakan hajat Konferensi
Wilayah IX Nahdlatul Ulama yang akan memilih kepengurusan PWNU Kalimantan
Timur. Diharapkan kepengurusan baru tetap dapat menjalankan roda organisasi sebagaimana
yang diamanatkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Kepengurusan
yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan umat dan masyarakat umum, mampu
bersinergi dengan stake holders lain, membangun jejaring yang lebih luas dan
terus menegakkan marwah NU. Dan tidak kalah penting terus bisa menjadi garda
terdepan dalam membela Islam, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menghadirkan Islam yang damai dan Rahmatan lil ‘aalamin. Selamat
berkonferwil.
Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamit thariiq.
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.