Jumat, 16/02/2018
Jumat, 16/02/2018
Jumat, 16/02/2018
Fenomena radikalisme agama yang marak
dewasa ini, merupakan persoalan yang berhubungan dengan pengalaman inti, memori
kolektif dan penafsiran agama. Secara umum, setiap agama dalam perspektif
sosiologi memiliki dua fungsi, yaitu fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi
manifest, yaitu fungsi yang disadari betul oleh para pengikutnya sebagai
manifestasi objektif dari suatu sistem sosial, misalnya membangun kerukunan
umat beragama melalui ukuwah islamiyah. Fungsi laten, yaitu fungsi yang
tidak dikehendaki secara sadar dari sistem sosial tersebut dalam memunculkan
radikalisme, dan agama merupakan lahan empuk untuk menjadi crying banner dalam
melakukan tindakan radikalisme.
Seiring dengan dampak dari fungsi sosial
tersebut, radikalisme agama di Indonesia hingga hari ini menjadi perbincangan
yang menarik dan terus menghangat. Radikalisme yang berdampak pada instabilitas
sosial dan disintegrasi persatuan dan kesatuan bangsa, yang disebabkan oleh
perilaku negative pelakunya, menjadi masalah serius bagi banyak kalangan.
Munculnya isu-isu mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat
Islam untuk menjawabnya.
Pendidikan
Tinggi dan Radikalisme
Pendidikan
tinggi adalah media penting untuk menapaki jenjang mobilitas sosial dalam
membangun intelektual dan penguatan nasionalisme. Rangkaian penelitian sosial
secara konsisten menemukan fakta bahwa variabel pendidikan menjadi faktor
terpenting untuk percepatan mobilitas, perbaikan status sosial, sekaligus
membentuk sikap-perilaku sosial-keagamaan seseorang. Di Indonesia, banyak perguruan tinggi yang
secara khusus mengajarkan agama dan ilmu agama. Pendidikan dan pengajaran agama
model ini bertujuan rangkap untuk mendidik calon sarjana agama yang intelek,
berwawasan keagamaan yang holistik, dan sekaligus diharapkan menjadi pemuka
agama yang berkualitas untuk menjadi figur teladan dalam kehidupan beragama.
Di sini, kehadiran Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam, khususnya IAIN Samarinda, menjadi gerbang misionaris (dakwah)
untuk menyemai nilai-nilai luhur agama, dan pemusatan pembinaan persiapan para
tokoh agama yang dibutuhkan di setiap komunitas agama guna menciptakan
nasionalisme. PTKI sebagai lembaga pendidikan tinggi, dalam konteks ini,
memainkan peranan strategis dan krusial dalam mendidik calon lulusan yang siap
melayani hajat public umat beragama. Di tangan mereka, masa depan umat
diamanatkan. Secara sosiologis, watak ramah-bengis, dan santun-kasar umat
sangat ditentukan oleh model pembinaan keagamaan yang diturunkan dari pemuka
agamanya melalui aktivitas pendidikan yang dilakukan.
Inilah yang
menjadi pemikiran mendasar tentang pentingnya penguatan peran Perguruan Tinggi
Keislaman dalam mencegah penyebaran radikalisme agama di lingkungan kampus.
Dengan kata lain, untuk menumpas perkembangan radikalisme agama di Indonesia
ini tidak cukup dengan tembak mati, penjara seumur hidup, hukum gantung, akan
tetapi harus melalui soft approach yang mampu “mematikan” gerakan radikalisme di Perguruan Tinggi
Islam.
Hal yang dapat
dilakukan oleh Perguruan Tinggi Keislaman dalam menangkal radikalisme adalah; Pertama, Pengembangan pendidikan multikultural
yang terintegasi dalam seluruh aktivitas pendidikan dan pembelajaran di kampus
secara sistematis. Kedua, diperlukan
revitalisasi mata kuliah yang bersifat ideologis Pancasila, wawasan kebangsaan,
dan agama. Dengan memahami Pancasila, mahasiswa diarahkan untuk menumbuhkan
semangat kebangsaan dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Ketiga, mempertegas system tata kelola
perguruan tinggi yang berbasis pada patriotisme dan nasionalisme.
Melalui ikhtiar pendidikan tersebut, radikalisme yang marak dewasa ini, dapat tereduksi, sehingga akan mampu menciptkan tatanan negara yang mapan dan agamis, seperti yang dicita-citakan oleh semua masyarakat, yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.