Senin, 01/10/2018

JANGAN KEBIRI KPK

Senin, 01/10/2018

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

0

JANGAN KEBIRI KPK

Senin, 01/10/2018

logo

Upaya Pemerintah untuk melahirkan Undang-Undang tentang Penyadapan melalui Rancangan Undang-Undang yang sudah beredar di berbagai kalangan, sebenarnya merupakan hal yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana salah satu tugas pemerintah adalah untuk mewujudkan keamanan serta ketenangan bagi warganya baik pada saat warganya bertindak maupun sebagai jaminan apabila ada tindakan-tindakan yang berlebihan dari Negara.  Selain hal tersebut Upanya Pemerintah dalam membuat suatu Undang-Undang yang baru,  juga merupakan suatu tindakan pemerintah untuk membangun sikap dan tingkah laku warganya ke arah yang lebih maju untuk mengisi VakumRech (ke kosongan hukum) yang oleh Prof Muhtar Kusumaatmaja disebut dengan istilah, “ Law as a tool of social engineering “,  (hokum sebagai saran pembaharuan masyarakat).

Oleh karenanya mungkin kita semua setuju, apabila pembuatan Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan tersebut dibuat untuk menguatkan peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada dan mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang yang sudah diberikan kepada lembaga tertentu untuk melakukan penyadapan.

Namun akan lain  halnya, jika dalam materi Rancangan Undang Penyadapan tersebut justru mengebiri hak penyadapan yang sudah ada pada Lembaga Negara, yang dalam hal ini adalah Lembaga KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Kita ketahui bahwa salah satu keberhasilan dari Lembaga KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi adalah melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT ) yang tentu didasarkan kepada Penyadapan terlebih dahulu .

Saya sangat kwatir jika dengan Rancangan Undang-Undang Penyadapan tersebut justru meghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan, masyarakat akan berduka dan masyarakat akan menganggap bahwa Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Bapak Jokowi selaku Presiden RI, tidak serius untuk memberantas korupsi sebab KPK sangat akan berkurang fungsinya dengan hilangnya kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut.

Mungkin kita masih perlu mengingat lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 2017, yang dalam salah satu pasalnya memperbolehkan mantan koruptor untuk ikut dalam kontestasi pemilu. Oleh karenanya apabila Negara ( Eksekutif dan legislative) menganggap Negara sudah mengalami darurat korupsi, maka seharusnnya pasal dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 yang memperbolehkan mantan koruptor ikut dalam Pemilu Legislatif, tidak perlu terjadi .Atas hal tersebut, sangat diapresiasi, kegigihan KPU RI selaku Lembaga yang membidangi Pemilihan Umum,  yang masih menginginkan agar dalam Pemilihan Umum 2019, para mantan koruptor tidak boleh ikut dalam kontertasi,  yang pada akhirnya KPU mengeluarkan PKPU No. 20 tahun 2008 yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) huruf (h) dan pada akhirnya mendapat persetujuan dari Pemerintah.

Namun sangat disayangkan, niat baik para komisioner KPU agar Pemilihan umum 2019 terbebas dari paramantan koruptor, terpaksa kandas melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. Dengan dibatalkannya PKPU No. 20 tahun 2018, oleh Mahkamah Agung,  Penulis bukan bermaksud menyalahkan Mahkamah Agung,  karena dari sudut pandang ketatanegaraan, keputusan Mahkamah Agung sudah sepatutnya, karena berdasarkan norma ketatanegaraan,  Indonesia menganut azas, “ LexSiperiorDerogatLegi Interior “,atau peraturan yang dibawah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Demikian juga hal tentang  RUU Penyadapan yang sudah dipersiapkan pemerintah dalam hal ini oleh Kementerian hokum dan Ham, sebaiknya RUU ini jangan sampai mengebiri kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan, sebab salah satu kunci kesuksesan KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi adalah melalui kewenangan untuk melakukan penyadapan, sebagai mana diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang No. 30 tahun 2002. Serta harus juga dipahami bahwa apabila dalam RUU tentang penyadapan , terkandung pembatasan kewenangan KPK melakukan penyadapan, maka kita akan melihat pergumulan kembali yang tidak kalah sengitnya dengan pergumulan antara kandungan PKPU No. 20 tahun 2018 dengan kandungan Undang-Undang No. 7 tahun 2017, sebab kembali akan menimbulkan pertentangan antara dua pendapat atau kelompok yaitu apakah KPK tunduk dan taat terhadap Undang-Undang  No. 30 tahun 2002 atau KPK harus tunduk dan taat kepada Undang-Undang tentang Penyadapan. Apabila hal ini terulang kembali, maka Mahkamah Konstitusi akan mengalahkan UU. No. 30 tahun 2002 dan menyatakan bahwa KPK  tidak dapat lagi melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 dan harus tunduk dan taat kepada Undang-Undang tentang penyadapan apabila sudah disahkan kelak, hal ini terjadi karena system ketatanegaraan Indonesia, menganut azas, “ Lex Posterior DerogatLegi Priori “,yaitu hukum yang baru menyampingkan hukum yang lama.

Beranjak dari pengalaman sebagaimana diatas, sebaiknya jika Pemerintah benar-benar masih menginginkan keberadaan KPK, untuk memberantas korupsi di Indonesia, maka Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembuat Undang-Undang hendaknya jangan sampai mengebiri kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan seandainya pun Dewan Perwakilan Rakyat tetap memaksakannya,maka Presiden selaku pemberi persetujuan dalam pengesahan Undang-Undang, sebaiknya harus berani menolaknya. Biarlah RUU tentang Penyadapan dibuat untuk keamanan Negara saja.

OlehNasonNadeak, SH, MH Pimpinan Law Office, “ NASON NADEAK, SH, MH & ASSOCIATES.

Jl.Sei Berantas No.10 Ruko No.38 Samarinda Kalimantan Timur

Alamt Email : [email protected]

Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.