Kamis, 04/10/2018
Kamis, 04/10/2018
Kamis, 04/10/2018
Negara kita baru mengadakan PILKADA serentak dimana kita semua
memilih kepala daerah secara serentak di Indonesia, sebenarnya pembahasan soal
pemilu serentak ini udah di bahas dari dua tahun yang lalu sebelum pemilu
presiden dilaksanakan, setelah dibahas dan di kaji oleh MK akhirnya MK
memutuskan pemilu serentak. Tetapi keputusan itu dikeluarkan hanya
beberapa bulan sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan, alhasil pemilu serentak
yang dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden secara berbarengan gagal
dilaksanakan pada tahun itu. Dan warga indonesia hanya melakukan pemilu-kada
secara serentak untuk memilih kepala daerah.
Berikut ini saya ingin sedikit membahas mengenai pemilu serentak. Mulai
dari pembahasan kontra serta pembahasan pro pemilu serentak dengan tujuan ingin
membagi pengetahuan kepada pembaca menganai pemilu serentak itu.
Pembahasan kontra mengenai pemilu serentak
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU No. 42 Tahun
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih menjadi
pembicaraan hangat di ruang publik. Salah satu forum yang turut mengangkat
kontroversi dari Putusan MK tersebut adalah acara diskusi terbuka yang diadakan
oleh Djokosoetono Research Centre di Kampus Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (FHUI), Depok.
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil menjelaskan
penyelenggaraan pemilu dikatakan serentak jika pemilihan presiden putaran
pertama atau satu-satunya putaran dalam pemilihan presiden dilaksanakan pada
hari yang sama dengan pemilihan anggota legislatif. Pemilu serentak menjadikan
sistem presidensial efektif. Pasalnya, dengan pemilu serentak, maka seorang
presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif.
Pemilu serentak menguntungkan partai yang memiliki calon presiden.
Menurut Fitra, Indonesia dapat mencontoh pelaksanaan pemilu serentak yang
banyak digelar di kawasan Amerika Latin. sekitar 12 dari 18 negara di kawasan
Amerika Latin sudah menerapkan pemilu serentak.
Fitra
berpendapat, pelaksanaan pemilu serentak berpotensi menjadi masalah jika
pilpres berlangsung dua putaran. Menurut Fitra, pilpres dua putaran akan
membawa konsekuensi banyaknya pasangan capres-cawapres yang bertarung. Dampak
lanjutannya adalah parlemen akan terfragmentasi cukup tinggi karena konfigurasi
ini memberikan peluang kepada banyak partai untuk mendudukkan calonnya di
parlemen.
Apabila
banyak partai di parlemen, maka kemungkinan munculnya partai dominan menjadi
kecil dan terjadi fragmentasi yang tinggi (multipartism). Dengan demikian,
konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi sulit.
Harapan menghasilkan struktur parlemen yang kongruen dan dukungan legislatif
yang kepada presiden dapat terhambat jika pemilihan presiden dua putaran masih
berlaku
Dari segi
daya tahan koalisi, pemilu serentak yang akan dipadukan dalam pemilihan
presiden dua putaran juga akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi
koalisi. Karakter koalisi di putaran kedua tentu banyak didominasi
pilihan-pilihan pragmatis daripada agenda kebijakan dan program memerintah
karena koalisi lebih terpengaruh suara.
Merujuk pada
Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, pelaksanaan pilpres memang dimungkinkan dua
putaran jika tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan
sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Pakar Politik
Kevin Evans, memuji proses pembentukan partai di Indonesia. Pendiri www.pemilu.asia ini berpendapat partai di
Indonesia terbentuk atas dasar ideologi dan gagasan untuk mencapai cita-cita
yang ada di Pembukaan UUD 1945. Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia
yang partainya berdasarkan identitas atau etnis. Koalisi seperti ini bisa
merusak gagasan dan ide yang dimiliki oleh partai dalam proses pengabdian
kepada Indonesia.
Pembahasan Pro mengenai pemilu serentak
Pemilu
Serentak Dinilai Lebih Efisien Jika serentak, setiap warga negara dapat membuat
peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih.
Pelaksanaan
pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden yang
selama ini dilakukan terpisah (tidak serentak) dinilai tidak efisien. Selain
biayanya yang sangat besar, pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan
kerugian hak konstitusional warga negara sebagai pemilih.
Atas dasar
itu, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah pasal
dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke MK. Effendi memohon pengujian
Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan
Pasal 112 UU Pilpres terkait penyelenggaraan pemilu dua kali yakni Pemilu
Legislatif dan Pilpres.
Misalnya,
Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres menyebutkan pemilihan umum presiden dan wakil
presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Effendi menilai pelaksanaan pemilu lebih dari satu kali
telah merugikan warga negara yang mempunyai hak pilih. “Kerugiannya, kemudahan
warga negara melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam dan dana pemilu
tidak serentak amat boros, seharusnya bisa digunakan untuk pemenuhan hak-hak
konstitusional lain.
Dia mengatakan pelaksanaan pemilu secara serentak selain efisien
(hemat) dapat mendidik para pemilih menjadi cerdas. Cerdas yang dimaksud
Gazali, dengan menerapkan sistem presidential
coattail dan political efficacy (kecerdasan berpolitik).
Presidential
Coattail, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai
politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.
Kalau presidential coattail, pemilih memilih presiden sama dengan
pilihannya untuk anggota DPR dan DPRD dalam satu partai.
Tetapi,
kalau political efficasy, dia bisa bisa memilih anggota legislatif dan
memilih presiden yang diusung partai lain. Ini bisa dilakukan kalau pemilu
legislatif dan presiden dilakukan serentak.
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.