Sabtu, 17/11/2018

Agama Sebagai Spirit Perdamaian

Sabtu, 17/11/2018

Arief Rohman Arofah, MA.Hum

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Agama Sebagai Spirit Perdamaian

Sabtu, 17/11/2018

logo

Arief Rohman Arofah, MA.Hum

Oleh: Arief Rohman Arofah, MA.Hum


Membaca tulisan Dr. Mukhamad Ilyasin, Rektor IAIN Samarinda, bertajuk "Esensi Sebuah Agama", pada Koran Kaltim, edisi 03 November 2018, menarik untuk dikaji dan didiskusikan secara mendalam.


Agama, seperti ditulis Mukhamad Ilyasin, seringkali digunakan sebagai alat legitimasi untuk melakukan tindakan ekstrem dan perilaku menyimpang. Dengan kata lain, para pelaku ekstrem dan menyimpang, seringkali menjadikan agama sebagai tameng sekaligus justi?kasi untuk membenarkan tindakan mereka. Maraknya aksiterorisme dan radikalisme berkedok agama, adalah contoh nyata penyalahgunaaan agama oleh para ekstremis.


Paling tidak, ada dua alasan utama, seperti dikemukakan Ilyasin, yang menjadi latar bagi lahirnya perilaku dan tindakan kekerasan atas nama agama. Pertama, minimnya pengajaran agama (Islam) yang bernafaskan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan progresif. Kedua, lemahnya penanaman ideologi Pancasila di tengah-tengah masyarakat, lingkungankampus, dan instansi pemerintah. Bila kedua latar ini tidak disikapi dan diberikan solusi, maka tidak heran bila aksi anarkisme dan intoleransi akan semakin mewabah dan menyebar ditengah-tengah masyarakat.


Spirit Perdamaian

Secara prinsip, Islam mengajarkan dan memerintahkan kepada para pemeluknya untuk melakukan persaksian atas ke-Esaan Allah dan kerasulan Muhammad SAW. Persaksian ini terangakai dalam dua kalimat shahadat "laaIlaahaillallah Muhammad Rasuulullaah.


Persaksian pertama, ke-EsaanTuhan,  menegasankan pentingnya pengakuan adanya ke-Tunggalan (unitas) dan kejamakan (multiplisitas). Artinya, seorang yang beragama, tidak saja mengakui ke-Tunggalan Tuhan di satu sisi, namun pada sisi lain, seorang yang beragama juga mengakui adanya kejamakan dan keragaman dalam ciptaan-Nya (HaidarBagir, 2014:xvii).


Pengakuanakanke-Tunggalan Tuhan dan kejamakan ciptaan Tuhan, membawa konsekuensi bagi para pemeluknya untuk melihat dan menyakini bahwa keragaman, termasuk keragaman dalam beragama, merupakan sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Keragaman bukanlah alasan untuk menciptakan perpecahan, kekerasan dan penindasan atas nama agama. Sebaliknya, keragaman merupakan spirit untuk hidup damai, toleran dan saling mengahargai antar sesama ciptaan Tuhan (QS: Al Hujurat : 13).


Persaksian kedua, kerasulan Muhammad SAW, menegaskan pentingnya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan. Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang telah mencapai kesempurnaan ahlak dan etika. Karenanya, menjadikan beliau sebagai panutan dan tauladan merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang muslim (QS: Ahzab: 21).


Menebar kasih sayang merupakan inti dari risalah kenabian Muhammad SAW. Beliau mengajarkan dan menebarkan kasih sayang, tidak saja kepada sesama manusia, melainkan juga kepada seluruh ciptaan Tuhan. Tidak semata kepada para pengikutnya, namun juga kepada mereka yang membenci, memaki dan memusuhinya (Raghib As-Sirjani, 2014: 23).


Bila kasih sayang yang menjadi inti dari ajaran kenabian Muhammad SAW ini dipahami dan disebarkan oleh para pengikutnya, makan harapan untuk menjadikan agama sebagai spirit kedamaian dan persaudaraan, baik intra maupun antar agama, akan dengan mudah didapatkan. Sebaliknya, bila ajaran kasih sayang ini tidak dipahami dengan baik, maka harapan untuk menjadikan agama sebagai spirit perdamaian menjadi pupus. Bahkan, tidak mustahil agama akan berubah menjadi penyulut dan pemantik lahirnya kebencian, anarkisme, dan intoleransi.


Kampus Sebagai Laboratorium

Minimnya pengajaran agama yang berbasis pada ajaran perdamaian, toleransi dan progresif, ditambah lagi dengan lemahnya penanaman ideologi Pancasila di tengah-tengah masyarakat, lingkungan kampus dan instansi-instansi pemerintah dan swasta, ditengarai sebagai faktor pemicu tumbuh dan berkembangnya anarkisme dan intoleransi.


Faktor lain yang tidak kalah penting dalam membantu tersebarnya ajaran intoleran  yang pada akhirnya melahirkan radikalisme dan terorisme adalah maraknya penyebaran literatur keagamaan kontemporer, khususnya dikalangan pelajar dan mahasiswa.


Penyebaran literatur keagamaan kontemporer dimaksud adalah buku-buku terjemahan dari Timur Tengah berikut ideologi yang  menyertainnya. Selaian itu, lahirnya penulis-penulis lokal yang se-ideologi dengan penulis Timur Tengah, juga turut andil dalam penyebaran ideologi ekstrimis dan radikal. Kurang lebih, ada lima jenis literatur keagamaan (keislaman) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, khusus di kalangan siswa dan mahasiswa. Kelima literatur tersebut adalah; Jihadi, Tahriri, Sala?, Tarbawi dan Islamisme populer (NoorhaidiHasan, 2018: 22).


Kampus, sebagai laboratorium ilmu pengetahuan untuk mencetak calon cerdik-pandai, sudah seharusnya memainkan peran dalam upaya menangkal gerakan radikal dan ekstrim. Dan dalam hal ini, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda, telah memberikan contoh dan menegaskan posisinya.


* Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda.

Agama Sebagai Spirit Perdamaian

Sabtu, 17/11/2018

Arief Rohman Arofah, MA.Hum

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.