Rabu, 21/11/2018

Pahlawan yang Terlupakan

Rabu, 21/11/2018

Alias Candra

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Pahlawan yang Terlupakan

Rabu, 21/11/2018

logo

Alias Candra

Penulis : Alias Candra 

(Dosen Ekonomi Syari’ah IAIN Samarinda)


Kata pahlawan mulai mengalami perluasan makna. Dulu, orang mengenal pahlawan sebagai pejuang yang dengan gagah berani melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Pahlawan kerap diasosiasikan dengan penjajahan. Kini, pahlawan digeneralisasi sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Kolonialisme memang sudah usang. Situasi zaman telah berubah. Pandangan pun ikut berkembang. Mengacu pada perluasan makna tersebut, siapa pun bisa disebut pahlawan asalkan sanggup memanfaatkan segenap jiwa dan raganya secara tulus untuk kepentingan bangsa dan negara.

Dalam momen Hari Pahlawan, pemerintah senantiasa menganugerahkan gelar pahlawan kepada tokoh yang telah berkontribusi besar terhadap bangsa. Sebagaimana diketahui, pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini, presiden menyematkan gelar pahlawan kepada enam tokoh Indonesia, yaitu Abdurrahman Baswedan, Depati Amir, Kasman Singodimedjo, Pangeran Mohammad Noor, Agung Hajjah Andi Depu, Brigjen K.H. Syam’un Keenam tokoh ini, juga tokoh-tokoh lain yang menerima gelar lebih dahulu, memang orang besar dengan segala sikap patriotiknya kepada bangsa dan negara.

Namun, dalam perspektif yang lebih luas, orang yang pekerjaannya berhubungan dengan pengabdian juga bisa disebut pahlawan meskipun tanpa kata sandang ”gelar”. Guru bisa disebut pahlawan –bahkan dulu ada embel-embel tanpa tanda jasa. Dokter, tentara, polisi, dan profesi/pekerjaan pengabdian lainnya, jika sungguh-sungguh melayani masyarakat, juga tidak keliru dianggap pahlawan. Di luar profesi itu, ada pekerjaan pengabdian lainnya yang jarang terekspos dan jauh dari gegap gempita. 

Mereka ini, boleh saya bilang, bekerja melayani secara tulus dan tak kenal waktu. Mereka ini adalah pahlawan yang tak terlihat. Bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi jarang mendapat ”pengakuan”. Mereka adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, uganda dan somalia) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Namun, istilah TKI. seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah kumpulan tenaga kerja nonkill yang merupakan program pemerintah untuk menekan angka pengangguran. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (2006)

Nasib TKI di Hari Pahlawan

Sumiati dan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia lainnya adalah sekelompok manusia bercita-cita luhur. Memilih menjadi buruh migran untuk menopang kehidupan keluarga. Tapi, siapa sangka. Sumiati dan rekan senasibnya turut andil menopang negeri ini dengan sumbangan devisa yang tak sedikit. Tapi, apa yang mereka dapat? Hanya gelar”pahlawan devisa dan penganiayaan setiap tahun

Ternyata nasib Sumiati tak semujur yang dikira. Menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) membuat keasasian Sumiati tercerabut. Kemanusiaannya dilanyak dan direnggut tanpa belas akibat gagalnya proteksi negara tempatnya berasal (Indonesia) dalam memberikan perlindungan terhadap keselamatan kerja buruh migran sepertinya.

Tentu bukan Sumiati saja yang teriris kepedihan. Tapi, seluruh masyarakat Indonesia yang punya rasa kebangsaan dan nasionalitas pun merasakan hal yang sama. Sumiati bukanlah seorang diri tapi membawa nama dan harga diri sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Luka dan air mata Sumiati adalah luka dan air mata setiap anak kandung Ibu Pertiwi ini.

Berbagai media melansir TKW asal Bima Dompu Nusa Tenggara Barat ini disiksa tanpa perikemanusiaan oleh majikannya di Madinah Arab Saudi. Selama empat bulan kedatangannya di Madinah sejak Juli 2010 Sumiati kerap dianiaya tanpa henti oleh majikannya.

Kabar ini menggaung di tengah air mata anak negeri ini yang baru saja kering akibat bencana alam beruntun yang menelan korban harta dan nyawa. Sumati menambah berderet pilu itu.  


Pahlawan Devisa

Istilah ‘pahlawan devisa’ dengan demikian harus dipahami secara literer. Jika ‘pahlawan’ adalah orang yang menjadi korban demi orang yang lainnya, maka bukankah Sumiati dan TKI lainnya adalah pahlawan bagi kedaulatan negara? Mereka dipancung, disemena-menakan, disiksa dan menderita—dengan demikian sah dikategorikan pada kategori ‘korban,’  dan akhirnya diabstrasikan dalam retorika haru presiden menjadi sosok ‘pahlawan’ bagi pertama-tama devisa, dan akhirnya bagi kedaulatan negara. Ya, TKI adalah pahlawan. Dan seharusnya posisi kita jelas: lawan semua gestur hipokrit pemerintah untuk memaknai penderitaan TKI sebagai sebentuk kepahlawanan!


Pahlawan yang Terlupakan

Rabu, 21/11/2018

Alias Candra

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.