Selasa, 29/01/2019
Selasa, 29/01/2019
Selasa, 29/01/2019
Oleh: Efri Novianto
Peneliti di Pusat Studi Politik dan Pemerintahan
Universitas Kutai Kartanegara
DEMOKRASI adalah pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat tetapi di sisi lain, bisa berpotensi membelah masyarakat. Tulisan ini tidak sedang membahas tentang terbelahnya masyarakat menjadi dua kutub besar, kubu 01 atau kubu 02, cebong atau kampret, akan tetapi lebih pada menganalisa hasil survei yang terlanjur berseliweran di media sosial. Ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, lembaga survei dan konsultan politik banyak terbentuk di era demokrasi langsung seperti saat ini. Survei ilmiah yang biasanya dimonopoli kampus, saat ini tidak lagi demikian seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga survei di Indonesia. Sebut saja nama Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indo Barometer, SMRC, Charta Politica, Alvara Research, Y Publica, Indikator Politik, Median, dan lembaga survei lainnya. Jika dahulu harus menunggu hasil pemilihan selesai dengan perhitungan yang panjang, sekarang cukup dengan menunggu hasil Quick Count yang dilakukan lembaga survei, masyarakat sudah mendapatkan gambaran siapa pemenang kontestasi.
Tahun 2019 adalah puncak dari kontestasi tersebut. Untuk pertama kalinya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD). Harus diakui, isu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini telah menenggelamkan isu tentang pemilihan anggota legislatif, yang menyebabkan pemilihan anggota legislatif tersebut seakan tidak lagi penting. Memang belum ada survei ilmiah yang menguatkan tesis tersebut, tetapi kalau melihat perdebatan di media mainstream maupun media sosial, lebih banyak pada siapa yang akan menjadi presiden dibanding siapa yang akan menjadi wakil rakyat ke depan. Karena itulah, siapa presiden kedepan lebih menarik untuk diulas dan didiskusikan dibanding siapa yang akan duduk di parlemen.
Diatas kertas, pasangan Jokowi-Amin dipastikan menang, akan tetapi jika melihat persentase yang didapat, Jokowi-Amin masih mungkin dikalahkan. Dari rilis beberapa lembaga survei menunjukan bahwa elektabilitas Jokowi-Amin berada di kisaran 53-55 persen, yang jika dirata-ratakan 52,97 persen. Sementara rata-rata margin of error yang digunakan lembaga survei mencapai 2,8 persen. Dengan perolehan suara yang hanya 52,97 persen, setelah dikurangi margin of error 2,8 persen, kemenangan Jokowi-Amin masih belum aman. Apalagi jika merujuk pada hasil survei yang di rilis oleh Indikator Politik yang menunjukan adanya penurunan elektabilitas Jokowi-Amin sebesar 3 persen dari survei sebelumnya. Sementara Prabowo-Sandi mengalami peningkatan sebesar 1 persen. Karena itu, baik Jokowi-Amin, maupun Prabowo-Sandi masih perlu kerja keras untuk memenangkan pemilihan 17 April mendatang.
Lantas, apakah hasil survei dapat dijadikan rujukan? Jawabannya bisa iya bisa tidak, tergantung keyakinan kita akan hasil tersebut. Akan tetapi jika melihat pengalaman pada pemilihan sebelumnya, misalnya Pilkada, Pilpres dan Pileg, maka dipastikan hasil survei tersebut merupakan gambaran prepensi politik masyarakat. Kemudian apakah ada hasil survei yang meleset sehingga menimbulkan bias. Harus diakui, hal inipun pernah terjadi pada beberapa Pilkada sebelumnya. Sebut saja misalnya Pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ahok-Djarot yang diunggulkan oleh berbagai lembaga survei, harus mengakui kemenangan Anies-Sandi di DKI Jakarta. Berbeda dengan DKI Jakarta, di Jawa Barat pasangan Sudrajat-Ahmad Syaihu yang sebelumnya tidak diunggulkan, justru menjadi runner up dan di Jawa Tengah pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah mampu meraih suara diatas 40 persen setelah sebelumnya diprediksi hanya meraih suara kurang dari 30 persen.
Hasil survei dapat dijadikan rujukan jika kita yakin dengan hasil survei, kredibilitas lembaga survei, rekam jejak, hingga yang terpenting lagi adalah metodelogi. Kita dapat melakukan perbandingan hasil antar beberapa lembaga survei. Idealnya hasil yang dirilis tidak jauh berbeda antar lembaga survei. Intinya bias survei dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya karena lembaga survei tersebut tidak memiliki kredibilitas dalam melakukan survei atau lembaga tersebut konsultan dari salah satu kandidat atau bisa juga disebabkan penggunaan metodelogi yang tidak tepat misalnya dalam penentuan sampel dan berapa jumlah sampel yang akan ditetapkan pada masing-masih wilayah.
Dari sini kita bisa menyimpulkan hasil survei hanya persoalan angka-angka yang juga punya kemungkinan salah. Sehingga tidak harus menjadi rujukan utama. So, baik Jokowi-Amin maupun Prabowo-Sandi beserta tim yang ada di bawahnya harus bekerja lebih keras, segala kemungkinan bisa saja terjadi. (*)
Oleh: Efri Novianto
Peneliti di Pusat Studi Politik dan Pemerintahan
Universitas Kutai Kartanegara
DEMOKRASI adalah pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat tetapi di sisi lain, bisa berpotensi membelah masyarakat. Tulisan ini tidak sedang membahas tentang terbelahnya masyarakat menjadi dua kutub besar, kubu 01 atau kubu 02, cebong atau kampret, akan tetapi lebih pada menganalisa hasil survei yang terlanjur berseliweran di media sosial. Ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan, lembaga survei dan konsultan politik banyak terbentuk di era demokrasi langsung seperti saat ini. Survei ilmiah yang biasanya dimonopoli kampus, saat ini tidak lagi demikian seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga survei di Indonesia. Sebut saja nama Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indo Barometer, SMRC, Charta Politica, Alvara Research, Y Publica, Indikator Politik, Median, dan lembaga survei lainnya. Jika dahulu harus menunggu hasil pemilihan selesai dengan perhitungan yang panjang, sekarang cukup dengan menunggu hasil Quick Count yang dilakukan lembaga survei, masyarakat sudah mendapatkan gambaran siapa pemenang kontestasi.
Tahun 2019 adalah puncak dari kontestasi tersebut. Untuk pertama kalinya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD). Harus diakui, isu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini telah menenggelamkan isu tentang pemilihan anggota legislatif, yang menyebabkan pemilihan anggota legislatif tersebut seakan tidak lagi penting. Memang belum ada survei ilmiah yang menguatkan tesis tersebut, tetapi kalau melihat perdebatan di media mainstream maupun media sosial, lebih banyak pada siapa yang akan menjadi presiden dibanding siapa yang akan menjadi wakil rakyat ke depan. Karena itulah, siapa presiden kedepan lebih menarik untuk diulas dan didiskusikan dibanding siapa yang akan duduk di parlemen.
Diatas kertas, pasangan Jokowi-Amin dipastikan menang, akan tetapi jika melihat persentase yang didapat, Jokowi-Amin masih mungkin dikalahkan. Dari rilis beberapa lembaga survei menunjukan bahwa elektabilitas Jokowi-Amin berada di kisaran 53-55 persen, yang jika dirata-ratakan 52,97 persen. Sementara rata-rata margin of error yang digunakan lembaga survei mencapai 2,8 persen. Dengan perolehan suara yang hanya 52,97 persen, setelah dikurangi margin of error 2,8 persen, kemenangan Jokowi-Amin masih belum aman. Apalagi jika merujuk pada hasil survei yang di rilis oleh Indikator Politik yang menunjukan adanya penurunan elektabilitas Jokowi-Amin sebesar 3 persen dari survei sebelumnya. Sementara Prabowo-Sandi mengalami peningkatan sebesar 1 persen. Karena itu, baik Jokowi-Amin, maupun Prabowo-Sandi masih perlu kerja keras untuk memenangkan pemilihan 17 April mendatang.
Lantas, apakah hasil survei dapat dijadikan rujukan? Jawabannya bisa iya bisa tidak, tergantung keyakinan kita akan hasil tersebut. Akan tetapi jika melihat pengalaman pada pemilihan sebelumnya, misalnya Pilkada, Pilpres dan Pileg, maka dipastikan hasil survei tersebut merupakan gambaran prepensi politik masyarakat. Kemudian apakah ada hasil survei yang meleset sehingga menimbulkan bias. Harus diakui, hal inipun pernah terjadi pada beberapa Pilkada sebelumnya. Sebut saja misalnya Pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ahok-Djarot yang diunggulkan oleh berbagai lembaga survei, harus mengakui kemenangan Anies-Sandi di DKI Jakarta. Berbeda dengan DKI Jakarta, di Jawa Barat pasangan Sudrajat-Ahmad Syaihu yang sebelumnya tidak diunggulkan, justru menjadi runner up dan di Jawa Tengah pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah mampu meraih suara diatas 40 persen setelah sebelumnya diprediksi hanya meraih suara kurang dari 30 persen.
Hasil survei dapat dijadikan rujukan jika kita yakin dengan hasil survei, kredibilitas lembaga survei, rekam jejak, hingga yang terpenting lagi adalah metodelogi. Kita dapat melakukan perbandingan hasil antar beberapa lembaga survei. Idealnya hasil yang dirilis tidak jauh berbeda antar lembaga survei. Intinya bias survei dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya karena lembaga survei tersebut tidak memiliki kredibilitas dalam melakukan survei atau lembaga tersebut konsultan dari salah satu kandidat atau bisa juga disebabkan penggunaan metodelogi yang tidak tepat misalnya dalam penentuan sampel dan berapa jumlah sampel yang akan ditetapkan pada masing-masih wilayah.
Dari sini kita bisa menyimpulkan hasil survei hanya persoalan angka-angka yang juga punya kemungkinan salah. Sehingga tidak harus menjadi rujukan utama. So, baik Jokowi-Amin maupun Prabowo-Sandi beserta tim yang ada di bawahnya harus bekerja lebih keras, segala kemungkinan bisa saja terjadi. (*)
Copyright © 2024 - Korankaltim.com
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.