Rabu, 13/02/2019
Rabu, 13/02/2019
peneliti PSPP Unikarta, Efri Novianto
Rabu, 13/02/2019
peneliti PSPP Unikarta, Efri Novianto
TENGGARONG – Pusat Studi Politik dan Pemerintahan (PSPP) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) menilai, belum adanya titik temu terkait PI Blok Mahakam menimbulkan banyak pertanyaan.
Menurut peneliti PSPP Unikarta, Efri Novianto, PI Blok Mahakam hanya untuk kepentingn elit sehingga hal ini berpotensi menyebabkan rakyat Kukar semakin menjerit.
“Semua pihak perlu duduk satu meja untuk membicangkan kembali penetapan porsi yang berkeadilan, dengan mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek sosial lainnya,” katanya.
Menurut Efri, konflik pembagian porsi PI 10 persen Blok Mahakam disebabkan perbedaan penafsiran pasal-pasal dalam Permen ESDM 37/2016. Pemprov Kaltim berdalih menggunakan pasal 4 huruf a dan b yang menyebutkan bahwa penentuan porsi PI dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah reservoir di lapangan migas. Atas dasar tersebut, porsi PI 10 persen yang dibagi ke Kukar adalah reservoir yang berada di daratan sampai dengan 4 mil laut, sedangkan yang berada di atas 4 mil sampai dengan 12 mil laut milik Pemprov Kaltim sepenuhnya.
“Sedangkan Kukar berdalih menggunakan pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan dalam hal pelamparan reservoir berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota, maka pembagian porsi PI pada Blok Mahakam masing-masing 50 persen. Atas dasar tersebut kemudian Pemkab Kukar menganggap tidak diperlukan lagi perhitungan perlamparan reservoir pada Blok Mahakam, karena Blok Mahakam ini hanya berada di dalam satu wilayah,” terang dia.
Efri menyarankan Kementerian ESDM menengahi perbedaan penafsiran ini. Bahkan jika diperlukan memberikan keputusan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh pihak. “Terlepas dari perbedaan penafsiran tersebut, yang harus menjadi perhatian adalah aspek lingkungan dan aspek sosial. Permen ESDM 37/2016 dalam ketentuan pembagian PI Blok Mahakam hanya mempertimbangkan aspek teknis yang berkaitan dengan pelamparan reservoir, tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Aspek tersebut adalah lingkungan dan sosial sebagai dampak dari proses pengolaan sumur migas,” ungkap dia.
Dari aspek lingkungan, kegiatan hulu migas ini berpotensi menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Kukar sebagai pemilik wilayah, tentu yang akan menerima dampak terbesar akibat kegiatan hulu migas tersebut. Kukar juga bertanggungjawab untuk mencegah, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam lampiran huruf K UU 23/2014.
Sementara dari aspek sosial, keberadaan Blok Mahakam diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan. “Realita yang terjadi justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Masyarakat pesisir khususnya yang berada di Kecamatan Anggana justru berada di urutan ketiga dalam hal kemiskinan setelah Samboja dan Muara Kaman,” jelas dia.
“Ini ironi yang harus segera dijawab dengan mengembalikan esensi dari kebiajakan PI sebagai sarana yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai setelah 50 tahun pengelolaan Blok Mahakam ini dikembalikan kepada BUMN, justru tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya,” sambung dia.
Efri menyebut, selama ini perdebatan mengenai PI Blok Mahakam hanya berkutat pada berapa porsi yang didapat, padahal yang lebih penting dari itu adalah apa yang akan dilakukan setelah uang dari hasil PI tersebut didapat. Kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya Kecamatan Anggana haruslah menjadi prioritas utama. “Jangan sampai ribut-ribut PI Blok Mahakam terkesan kepentingan elit, tetapi harus diarahkan pada kepentingan rakyat yang terlanjur menjerit akibat kemiskinan,” tegas dia. (hei)
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.