Rabu, 02/10/2019
Rabu, 02/10/2019
Rabu, 02/10/2019
Pada tanggal 26 Agustus
2019, Presiden Joko Widodo, melalui press conference menyatakan sahnya
pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimatan Timur, tepatnya di Kabupaten
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Pemindahan ibukota tersebut tentunya
akan membawa dampak yang tidak kecil, dan membutuhkan perencanaan yang matang
untuk menanggulanginya. Perencanaan dilakukan dari berbagai bidang, mulai dari
infrastruktur, kependudukan, dan tidak lupa juga penyangga pangan ibukota baru.
Dengan adanya pemindahan
ibukota, maka perubahan sosial-ekonomi menjadi suatu hal yang tidak terelakkan.
Perpindahan ibukota berarti pusat pemerintahan akan berpindah. Untuk
menjalankan pemerintahan, pemerintah memerlukan infrastruktur yang mumpuni,
mulai dari gedung, jalan, maupun infrastruktur umum lainnya. Pembangunan
infrastruktur pada daerah kosong di wilayah tersebut akan banyak mempengaruhi
hasil produksi yang ada di sana. Selain itu, perpindahan ibukota pun akan
diikuti oleh perpindahan penduduk. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan
jalannya pemerintah pusat, yang tentunya membutuhkan perangkat-perangkat
seperti aparatur sipil negara ataupun pegawai dari berbagai kementrian/lembaga
negara. Selain itu, tentunya pihak lain yang memiliki kepentingan, ataupun
melihat suatu peluang, baik secara sosial maupun ekonomi, akan ikut dalam arus
migrasi menuju ibukota negara.
Dengan adanya pengurangan lahan dikarenakan pembangunan yang diperkirakan bersifat masif dan perpindahan penduduk berupa migrasi masuk yang besar-besaran akan terjadi, maka kondisi ketahanan pangan di daerah ibukota baru perlu menjadi suatu perhatian. Beberapa opsi mulai dari menjadikan Kalimantan Timur itu sendiri sebagai penyangga pangan ibukota, maupun menjadikan provinsi di sekitarnya sudah mulai dipertimbangkan. Opsi-opsi untuk menyangga pangan ibukota baru harus mulai dipersiapkan dengan matang dan masukan yang berdasarkan data akurat diperlukan untuk itu. Setidaknya, penyangga pangan ibukota harus mampu menjadi mandiri dan memiliki kelebihan produksi untuk disalurkan ke ibukota baru nantinya. Berikut data yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam memilih daerah penyangga pangan ibukota baru.
Pertama, akan dilihat data mengenai bahan makanan pokok terbesar, yaitu padi. Berdasarkan data produksi padi oleh Badan Pusat Statistik, dapat dilihat bahwa produksi paling tinggi dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan tren yang cenderung meningkat dan disusul oleh Kalimantan Barat (Kalbar). Di peringkat ketiga ada Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), kemudian disusul provinsi ibukota baru, yaitu Kalimantan Timur (Kaltim) dengan tren produksi yang menurun.
Jika dilihat dari data
luas panen padi paling mutakhir, yaitu menggunakan KSA, yang dirilis BPS pada
tahun 2018, dapat dilihat bahwa Kaltim memiliki produktivitas tertinggi, tapi
luas panen yang masih sedikit. Lain halnya pada Kalsel, di mana
produktivitasnya cukup baik dan dibarengi dengan luas panen yang terbesar di
Pulau Kalimantan. Hal ini membuat produksi di Kalsel menjadi yang terbesar.
Setelah melihat kondisi produksi, harus dilihat juga apakah produksi tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Apabila pada bagian sebelumnya hanya dilihat produksi padi, maka produksi yang dimaksud pada bagian ini adalah produksi serealia dan umbi-umbian utama (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar). Berikut peta rasio konsumsi terhadap produksi Pulau Kalimantan tahun 2018 yang dirilis oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP).
Berdasarkan peta di atas,
didapat bahwa kebanyakan wilayah di Kalimatan berada pada kondisi defisit
rendah, sedang, dan tinggi. Di Kaltim, rasio justru berada pada kondisi defisit
tinggi. Performa terbaik terdapat di Kalsel, di mana semua daerahnya termasuk
pada kategori surplus, baik sedang maupun tinggi. Dengan surplusnya konsumsi
terhadap produksi, maka daerah tersebut bisa melakukan ekspor ke luar daerah,
baik ke luar negeri ataupun nantinya dijadikan penyangga ibukota baru, apalagi
didorong dengan keadaan di ibukota baru yang memiliki defisit.
Selanjutnya, jika dilihat dari data ketahanan pangan berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) komposit yang dirilis oleh BKP sebagai suatu indikator gentingnya kondisi pangan di suatu daerah, dengan dikelompokkannya daerah-daerah berdasarkan prioritas mulai dari 1 (sangat diprioritaskan, genting) sampai dengan 6 (tidak diprioritaskan, sudah baik). Berikut peta ketahanan pangan yang terakhir dirilis oleh BKP, yaitu untuk tahun 2018.
Berdasarkan peta di atas,
dapat dilihat bahwa sebenarnya untuk sebagian besar Kalimantan memiliki
kerentanan/ketahanan yang cukup mumpuni. Yang paling baik adalah di Kalsel dan
juga Kaltara.
Jadi, berdasarkan data di
atas, Provinsi Kalimantan Selatan dapat dijadikan suatu rekomendasi untuk
menyangga pangan ibukota baru, yaitu Kalimantan Timur nantinya. Hal ini
diperkuat dengan produksi dan produktivitas padinya yang besar dan memiliki
tren yang positif didukung dengan luas lahan terbesar di Pulau Kalimantan,
rasio konsumsi dan produksi yang surplus, serta kerentanan pangannya yang
memiliki indikator terbaik karena memiliki prioritas pada hampir semua
kabupaten/kotanya dan memiliki tren yang baik. Dengan melihat potensi yang
besar itu, sudah sepatutnya Kalimantan Selatan dilirik untuk menjadi penyangga
pangan ibukota baru agar dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada.
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.