Sabtu, 05/10/2019
Sabtu, 05/10/2019
Sabtu, 05/10/2019
Akhir-akhir ini kembali terjadi kekerasaan
yang melibatkan anak anak, setelah terjadi kekerasaan pada anak di tenggarong
yang dimana ayah dan ibu tirinya ikut terlibat mensiksa anak yang masih berumur
3 tahun kini terjadi lagi pada bocah laki-laki berusia tujuh tahun di Sangasanga,
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Setelah koma dua hari dalam perawatan RSUD
AW Syachranie, Samarinda. Kini anak tersebut dinyatakan meninggal setelah
mengalami MBO (Mati Batang Otak) setelah koma 3 hari, Selain penganiyaan korban
dibanting kelantai benton higga menyebabkan kepala korban mengalami pendarahan.
Masih banyak kekerasan anak yang tidak terekspos media. Peristiwa kekerasan
terhadap anak bukan hanya untuk diprihatikan namun harus di tindak tegas agar
tidak terjadi terus menerus yang menyebabkan anak menjadi takut dan membawa
kenangan buruk tersebut hingga ia dewasa
Pernah mendengar fenomena gunung ES, kekerasan
terhadap anak ini mirip sekali dengan fenomena gunung es. Tampak kecil diatas
permukaan tapi besar begitu ditelusuri didalam permukaan Pada kasus kekerasan terhadap
anak ini terus terjadi apabila keluarga, lingkungan sosial, dan budaya menutupi
peristiwa.
Dikutip dari catatan tahunan Komnas Perempuan
dan Anak (CATATAHU 2019) terdapat sejumlah temuan, pola dan trend kekerasan
yaitu kekerasaan di ranah
privat (korban dan pelaku berada dalam relasi perkawinan, kekerabatan, atau
relasi intim lainnya) baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah
tangga. Kasus ini masih merupakan kasus yang dominan dilaporkan. Kasus yang
tertinggi dilaporkan adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kedua,
Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan ketiga Incest. Pelaporan kasus perkosaan
dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada 2018. Pemerintah memang selalu
membuat langkah penting dalam pencegahan kekerasan anak melalu iklan di TV,
sosialisasi yang ada, ataupun jargon-jargon diberbagai media, namun faktanya
kasus-kasus yang beredar saat ini sangatlah
menyudutkan pengaruh yang diterima anak dari lingkungannya, untuk itu
permasalahan ini juga harus dikembalikan kepada “Peran penting orang tua” dalam
melakukan pembentukan dan pengawasan terhadap lingkungan sekitar. Diskusi harus
sering dilakukan antara anak dan orangtua meskipun hanya sebatas cerita sang
anak tentang sekolahnya, buatlah sosok orang tua hadir saat anak
menginginkannya.
Menurut saya ketika membahas solusi terhadap kasus yang
ada saat sekarang adalah kembali ke “Pilar Keluarga” Nilai-nilai, norma-norma,
dan keyakinan manusia dibangun dari keluarga. Keluargalah yang paling dominan
membentuk sikap dan perilakunya. Setiap orang yang telah dewasa pasti pernah
tumbuh menjadi anak. Menjalani masa-masa penuh kebahagiaan. Mempelajari hal-hal
baru tanpa harus memikirkan risikonya. Memandangi hidup dengan kepoloson.
Bergerak tanpa beban sedikitpun. Hanya tawa dan tawa. Jika terjatuh dan
kesakitan, ya tinggal menangis tanpa harus ditahan karena suatu alasan. Jika
lapar, ya tinggal merengek ke orangtua.
Tapi apakah semua anak-anak menjalani kehidupan
yang demikian? Jawabnya: tidak semua. Alasan dari setiap orang tua dan pelaku
yang terjerat kasus kekerasan pasti mengatakan bahwa anak itu nakal dan menjadi
beban saja, Pantaskah
kita sebagai orang tua mengatakan seperti itu ?
Kekerasan pada anak tak hanya berhubungan dengan
penyiksaan fisik tapi juga penyiksaan emosi, pelecehan seksual dan pengabaian.
Hal tersebut ditandai dengan Orang tua yang menunjukkan sikap penolakan pada anak, baik
secara sadar maupun tidak, akan membuat anak merasa tidak diinginkan. Contoh penolakan yang sering
terjadi, antara lain menyuruh anak pergi, menyebut anak tidak berharga,
menyalahkan anak, berteriak, menghina, dan menghukum anak di luar rumah.
Selain itu Orang
tua yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi punya kecenderungan untuk
mengabaikan anaknya. Mereka menunjukkan ketidaktertarikan pada anak. Contoh pengabaian yang sering
terjadi adalah tidak ingin mengetahui kondisi atau masalah anak, tidak
konsisten dalam merespon kebutuhan anak, dan tidak berusaha untuk melindungi
anak. Kemudian Orang tua yang mengancam, berteriak, dan mengutuk anak bisa
membuat psikologi anak mereka rusak. Contoh
teror yang kerap terjadi antara lain berteriak, mengutuk, mengancam,
mengintimidasi, mempermalukan anak di depan umum, dan mengancam akan
mempermalukan anak. Dan ada orang tua yang melakukan kekerasan dengan mengisolasi anak
mereka akan berdampak buruk. Anak
yang tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas bersama teman-teman akan
sulit bersosialisasi. Sementara bayi yang tidak diberi stimulasi akan
berkembang lebih lambat. Contoh lain dari mengisolasi adalah tidak memberikan
anak izin untuk bermain, meninggalkan anak sendirian dalam waktu lama, menyuruh
anak untuk tidak berteman dengan anak tertentu, dan memaksa mereka hanya
bermain di rumah. Kembali lagi
bagaimana orang tua memberikan kasih sayang kepada anak dan kesiapan untuk
menanggung tanggung jawab dalam keluarga .
"Masa depan bangsa berada ditangan anak-anak Indonesia." Kalimat ini sering kita dengar saat berbicara tentang anak. Sebab keadaan anak-anak Indonesia saat ini merupakan cerminan pembangunan Indonesia di masa depan. Langkah untuk mewujudkannya dengan memenuhi hak-hak anak. Jika hak anak sudah terpenuhi, anak akan berkembang dan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
Oleh : Lia Ariani
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.