Senin, 16/12/2019

Etika Memperlakukan Lingkungan Demi Menyongsong IKN

Senin, 16/12/2019

Energi Baru Terbarukan (EBT)

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Etika Memperlakukan Lingkungan Demi Menyongsong IKN

Senin, 16/12/2019

logo

Energi Baru Terbarukan (EBT)

Oleh : Damayanti Irene, S.Kom (Pegiat Media Sosial)

Pemerintah berencana menggunakan energi baru terbarukan (EBT) sebagai sumber tenaga untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur (Kaltim). Pasalnya, IKN baru ini mengusung konsep green city yang ramah lingkungan. Hal ini sangat mungkin diterapkan karena Kaltim memiliki sumber daya alam yang sangat kaya sehingga berpotensi menghasilkan EBT.


EBT seperti biomassa dapat dihasilkan dari limbah industri kelapa sawit seperti cangkang kelapa sawit yang banyak di Kalimantan. Bahkan, minyak kelapa sawit ini juga bisa diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan yaitu B30 atau B100.


Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, dengan penggunaan EBT ini pemerintah justru dapat membuktikan kepada setiap daerah konsep penataan kota yang berkelanjutan dengan memanfaatkan EBT setempat. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu lagi memproduksi tenaga listrik PLTU menggunakan batu bara.


PLTU dinilai tidak ramah lingkungan karena selain menggunakan bahan baku sumber daya alam juga asap dan abu pembakaran dapat merusak lingkungan sekitar. Jangan sampai Indonesia menjadi negara terbesar yang memproduksi batu bara sekaligus menjadi pengguna terbesarnya.


Perlu diketahui, SDA seperti batu bara seiring berjalannya waktu akan habis jika terus-terusan diambil. Apalagi jika menjadi satu-satunya bahan penghasil listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik seluruh Indonesia. Sehingga solusi dengan penggunaan EBT dianggap menjadi langkah yang tepat dan ramah lingkungan. Namun benarkah demikian?


Bila kita telaah lebih dalam dampak mengubah lahan hutan menjadi bisnis kebun kelapa sawit dan tanaman industri lainnya dengan dalih penggunaan EBT, tentu berakibat terjadi deforestasi (pengurangan luasan hutan) besar-besaran tanpa berpikir dampak jangka panjang kepada ekosistem lainnya. Kelapa sawit bukan merupakan ekosistem hayati sebagaimana hutan. Hewan-hewan yang bisa hidup di perkebunan kelapa sawit pun rata-rata hanya hewan perusak tanaman, seperti babi, ular, dan tikus. Dibanding, kelapa sawit, hutan jauh lebih penting keberadaanya.


Peneliti lingkungan dari Universitas Riau, Ariful Amri Msc, pernah meneliti kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit. Penelitian itu menyimpulkan bahwa, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Bahkan di musim kemarau tak ayal wilayah itu akan mengalami kekeringan, karena sifat dari pohon sawit yang menyerap banyak unsur hara dan air dalam tanah. Efeknya pada keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Bahkan alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit telah berpengaruh besar pada kerusakan lingkungan, perubahan iklim dunia dan menyusutnya ketersediaan air bersih dimana-mana.


Demikian banyaknya dampak buruk dengan adanya kelapa sawit bagi Indonesia. Lalu, yang jadi pertanyaan, mengapa pemerintah Indonesia masih beranggapan dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit untuk EBT masih dianggap ramah lingkungan dan sebagai langkah yang tepat dengan keselarasan konsep green city dalam IKN baru nanti?


Maka benarlah dengan apa yang dijelaskan di dalam Al Qur`an sebagai pedoman hidup manusia bahwa kerusakan lingkungan baik di darat maupun dilaut pelakunya adalah manusia karena eksploitasi yang dilakukan manusia tidak sebatas memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan tidak mempertimbangkan kelangsungan lingkungan dan keseimbangan alam tetapi lebih didasarkan pada faktor ekonomi, kekuasaan dan pemenuhan nafsu yang tidak bertepi. Manusia sebagai faktor dominan dalam perubahan lingkungan baik dan buruknya dan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan dan alam.


Memang hutan diciptakan oleh Allah untuk dimanfaatkan manusia namun manusia memiliki tanggung jawab untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagai sebuah amanah yang diberikan Allah sehingga pemanfaatan hutan dalam bentuk apapun harus tetap memperhatikan keseimbangan alam.


Lingkungan hidup telah didesain sedemikian rupa oleh Allah dengan keseimbangan dan keserasiaanya serta saling keterkaitan satu sama lain. Apabila ada ketidakseimbangan atau kerusakan yang dilakukan manusia. Maka akan menimbulkan bencana yang bukan hanya akan menimpa manusia itu sendiri tetapi semua makhluk yang tinggal dan hidup di tempat tersebut akan binasa.


Sebenarnya Islam telah lebih awal mengajarkan agar manusia senantiasa berbuat baik pada makhluk lain (tumbuhan, hewan dan alam) seperti yang dikisahkan Al Quran tentang Nabi Shalih as, Daud as, Sulaiman as dan Nabi Muhammad saw (santun terhadap tumbuhan, hewan dan alam).


Rasulullah SAW telah menyontohkan bagaimana sikap seorang muslim terhadap lingkungan, sebagaimana sabdanya: “Wahai prajurit, kalian tidak diperkenankan membunuh anak-anak dan wanita, musuhmu adalah kaum kafir. Jangan membunuh unta/kuda dan binatang lain, jangan membakar dan merusak kota, menebang pohon dan jangan merusak sumber air minum” (HR. Muslim). Hadis ini ketika peristiwa perang Badar. Sedangkan hadis lainnya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (H.R. Mutafakkun ‘alaihi).


Jadi, jelas bahwa Rasulullah SAW telah menanamkan nilai-nilai dan konsep kasih kepada manusia dan makhluk lainnya. Menjaga lingkungan harus menjadi akhlak, tabi`at dan kebiasaan setiap orang tanpa harus ada ancaman hukuman dan sebab-sebab lain dengan iming-iming tertentu, apalagi untuk eksploitasi lingkungan demi segelintir kepentingan tertentu.


Khalifah Umar bin Khattab merealisasikan pembangunan insfrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri Islam. Berbagai proyek tersebut direalisasikan mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan. Pembangunan infrastruktur akan menyesuaikan bentuk fisik permukaan bumi suatu wilayah, dan didesign dengan teknologi mutakhir serta telah dihitung dengan baik pembangunan wilayah sesuai dengan jumlah penduduknya. Jika melebihi kapasitas akan dibuka di tempat lain, sehingga tidak akan menganggu kawasan disekitar ibukota negara.


Konsep Islam tentang pelestarian lingkungan sangat lengkap, jelas dan tegas. Islam lebih awal mengemukakan, namun umat Islam tertinggal dalam menerapkanya. Sudah saatnya kita di negeri tercinta ini untuk berada di garis depan dalam mengamalkan ajaran Islam dalam segala hal, termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Insya Allah dengan pembangunan IKN yang berlandaskan konsep pelestarian lingkungan hidup sesuai dengan aturan Islam tentu akan membawa rahmat bagi seluruh alam.


Wallahu a’lamu bish-shawaab.


Etika Memperlakukan Lingkungan Demi Menyongsong IKN

Senin, 16/12/2019

Energi Baru Terbarukan (EBT)

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.