Rabu, 18/03/2020

Tak Cukup Seremonial, Problem Perempuan Perlu Solusi Total

Rabu, 18/03/2020

Muslimah

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

0

Tak Cukup Seremonial, Problem Perempuan Perlu Solusi Total

Rabu, 18/03/2020

logo

Muslimah


Bulan Maret diyakini sebagian orang sebagai bulan bersejarah bagi perempuan. Sebab pada bulan ini adalah momentum bagi perempuan di seluruh dunia, serentak menyuarakan hak-haknya. Tepatnya tanggal 8 Maret lalu, diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day (IWD). Sejak tahun 1975, IWD ditetapkan oleh PBB dan terus diperingati setiap tahunnya.

 

Each for Equal menjadi tema kampanye IWD tahun ini. Sebuah tema yang bertujuan untuk menantang stereotip, melawan prasangka dan merayakan pencapaian perempuan. Momen ini menjadi kesempatan bagi para perempuan untuk berkumpul merayakan pencapaian, mulai dari aspek politik hingga sosial dengan misi utama untuk menyerukan kesetaraan gender.

 

Di Indonesia sendiri, peringatan IWD salah satunya diwujudkan dalam bentuk aksi damai. Dilansir dari Cnnindonesia.com, ratusan peserta dari berbagai komunitas peduli perempuan menggelar aksi di kawasan Jalan MH. Thamrin dan Patung Kuda, Jakarta, pada Minggu (8/3/2020). Mereka menyuarakan beberapa tuntutan, salah satunya adalah hentikan kekerasan pada perempuan! Aksi tersebut merupakan representasi protes kesetaraan gender yang sampai saat ini masih timpang.

 

Diskriminasi Semakin Meningkat

Meskipun pemerintah telah banyak melegislasi hukum terkait kesetaraan gender dan larangan diskriminasi terhadap perempuan, nyatanya hal itu tidak menyurutkan jumlah dan jenis persoalan yang mereka hadapi hingga saat ini. Misalnya dari segi akses layanan kesehatan. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan, bahwa di seluruh dunia banyak wanita tidak dapat mengakses layanan kesehatan mendasar dan terus menderita penyakit yang seharusnya dapat dicegah dan diobati. Oleh karena itu Tedros menggunakan momen IWD untuk menyoroti hal tersebut. (Liputan6.com, 8/3/2020)

 

Selain itu, angka kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019. Sepanjang tahun kemarin, terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus.

 

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan, data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia juga tercatat terus meningkat selama lebih dari satu dekade terakhir. Selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau delapan kali lipat. Mariana menjelaskan, dari data tahun 2019, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Kasus meningkat dari 1.417 pada tahun 2018 menjadi 2.341 kasus pada 2019, atau naik 65 persen. Kasus yang paling banyak terjadi adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual, yakni sebanyak 571 kasus. (Tempo.co, 6/3/2020)

                                      

Parahnya lagi, kasus kekerasan terhadap perempuan pun merambah dunia maya. Komisi Nasional Komnas Perempuan mencatat kenaikan sebesar 300 persen dalam kasus kekerasan terhadap perempuan lewat dunia cyber yang dilaporkan melalui Komnas Perempuan. Kenaikan tersebut cukup signifikan dari semula 97 kasus pada 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. (Kompas.com, 6/3/2020)

 

Jebakan Paham Liberalisme

Diskriminasi dan eksploitasi yang dialami oleh perempuan dalam berbagai bidang kehidupan memunculkan banyak simpati. Untuk melepaskannya dari ketepurukan, perempuan didorong untuk bangkit dengan mengusung gagasan kesetaraan gender. Sebuah gagasan-liberalisme-feminisme- yang akhirnya membutakan mata dan hati mereka. Akhirnya perempuan menuntut persamaan hak dengan laki-laki dalam segala bidang. Jika laki-laki bisa, maka perempuan juga bisa. Akibatnya, mereka keluar dari fitrah yang telah Allah SWT gariskan.

 

Bak gayung bersambut, kini kesempatan terbuka lebar bagi perempuan di segala bidang. Terlebih lagi mereka hidup dalam atmosfer kapitalisme, yang membentuk gaya hidup hedonisme-materialisme. Akhirnya, bekerja bagi perempuan bukan lagi paksaan. Lebih jauh, seolah menjadi keharusan. Mereka begitu menikmati perannya berkarir di luar rumah demi mendapatkan uang yang dianggap sebagai sumber kepuasan dan kebahagiaan.

                                                 

Disisi lain, perempuan kembali dihadapkan pada kenyataan akan tanggung jawab keluarga sebagai istri dan ibu. Solusi kesetaraan yang bertujuan mengangkat martabat perempuan justru menghasilkan masalah baru. Padahal dalam Islam, peran perempuan telah telah diatur secara rinci untuk memuliakan mereka.


Pandangan Islam dan Peran Negara atasi Problem Perempuan

Dalam Islam, hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ia merupakan kehormatan yang harus dijaga. Karena itu peran utama kaum ibu adalah membina anak-anak mereka, menggelorakan semangat dan menanamkan kecintaan mereka kepada Allah, Rasul dan al-Quran, serta menempa kepemimpinan mereka. Di ranah domestik inilah akan tumbuh cikal bakal generasi umat terbaik.

Selain itu, perempuan memiliki hak untuk berperan di ranah publik. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki kecuali dalam hal-hal yang dikhususkan bagi keduanya. Perempuan berhak untuk berkecimpung dalam bidang pertanian, industri, bisnis, pendidikan, kesehatan, dakwah, partai, dan sebagainya.

 

Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan bisa dilihat dari kebijakan Rasulullah saw. yang mengabulkan permintaan mereka untuk belajar secara langsung dari beliau. Pada masa Kekhilafahan, telah didirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang terkenal dengan kemajuan ilmu dan teknologinya.

 

Dalam Negara Islam, pendidikan ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam setiap individu. Sistem pendidikan Islam akan menanamkan nilai-nilai  tentang kedudukan laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat, tentang perilaku terpuji dan tercela, juga tentang akhlak Islam yang tidak materialistik. Sifat materialistik merupakan bagian dari hubbud-dunya’ yang dilarang oleh Rasulullah saw.

 

Dari segi penerapan sistem Ekonomi Islam, negara melarang  aktivitas ekonomi yang menzalimi orang lain. Misal memberi upah tak layak dan menjauhkan semua jenis  aktivitas memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan demi keuntungan materi. Praktik kemaksiatan seperti prostitusi tidak dianggap sebagai aktivitas ekonomi, apa pun alasannya. Karena semua itu adalah pintu menuju zina yang harus ditutup rapat-rapat.

 

Sedangkan dari segi sistem peradilan Islam, negara akan memberlakukan sanksi secara tegas dan adil. Sanksi atas kriminalitas menghadirkan fungsi pencegahan (zawâjir) dan penebus dosa (jawâbir). Dengan begitu akan tercipta masyarakat yang bersih dari perilaku maksiat.

 

Tak hanya itu, Negara Islam pun akan membangun media yang dipastikan berjalan sebagaimana fungsinya. Media memiliki fungsi  memberi  informasi yang mendidik, menggambarkan pelaksanaan syariah Islam, tidak menayangkan pornografi dan gaya hidup hedonis, serta menyebarluaskan keteladanan. Media juga merupakan sarana untuk mengontrol dan menasihati pemerintah.

 

Negara Islam dengan penerapan menyeluruh itulah persoalan yang selama ini mengekang perempuan dapat teratasi hingga ke akar-akarnya. Wallahu a’lam.

 

Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.