Selasa, 28/04/2020

Kebijakan Bebaskan Napi Digugat, Yasonna Tak Gentar

Selasa, 28/04/2020

Yasonna H Laoly. (Foto: merdeka.com/arie basuki)

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Kebijakan Bebaskan Napi Digugat, Yasonna Tak Gentar

Selasa, 28/04/2020

logo

Yasonna H Laoly. (Foto: merdeka.com/arie basuki)

KORANKALTIM.COM, JAKARTA -  Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, membebaskan puluhan ribu narapidana berefek berantai. Niat semula untuk mengurangi kapasitas penjara-penjara demi mencegah penularan wabah virus corona ternyata malah memunculkan aneka masalah baru.

Sebagian napi yang sudah menikmati kebebasan dilaporkan berulah lagi dengan bertindak kriminal. Status mereka sebagai mantan orang hukuman menyulitkan mereka mencari pekerjaan, apalagi aktivitas ekonomi mandek gara-gara pembatasan sosial. Masyarakat kian resah karena para mantan napi mengancam keamanan dan ketertiban, sementara masyarakat juga dihantui kekhawatiran terjangkit Covid-19.

Sekelompok masyarakat akhirnya menggugat sang menteri ke pengadilan karena dianggap biang keladi keresahan itu. Yasonna dituding sembrono membuat kebijakan, meski atas alasan kemanusiaan untuk menghindari kejangkitan di penjara-penjara yang sesak dan bahkan mengklaim sesuai saran Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tiga kelompok masyarakat yang menggugat Yasonna—Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Masyarakat Anti-Ketidakadilan Independen (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia—menuding sang menteri tidak hati-hati dan cermat dalam membuat kebijakan membebaskan lebih 38 ribu napi. Contoh, tidak ada syarat si napi harus berkelakuan baik selama dipenjara dan pemeriksaan psikologis untuk memastikan tidak berulah lagi kelak.

Gugatan hukum itu memang difokuskan pada kebijakan pembebasan narapidana dari Rumah Tahanan Surakarta. Karena itu, yang disoal ialah Yasonna Laoly, kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, dan kepala Rutan Surakarta.“Kalau nanti [gugatannya] dikabulkan hakim,” kata Boyamin Saiman, selaku koordinator MAKI, “maka otomatis akan berlaku di seluruh Indonesia”.

Kementerian Hukum dan HAM menepis tudingan bahwa pembebasan napi tidak hati-hati dan cermat. Soalnya, kementerian sudah menetapkan sejumlah syarat normatif bagi napi yang hendak dibebaskan, di antaranya sudah menjalani dua pertiga masa hukuman untuk napi dewasa dan setengah masa pidana untuk napi anak hingga 31 Desember 2020.

Mereka yang dibebaskan juga tidak boleh yang sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Bukan pula narapidana dalam kasus-kasus yang terkategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti korupsi, terorisme, dan lain-lain.

Bahkan, Yasonna seperti dilansir viva.co.id mengklaim, setiap napi yang akan dibebaskan harus ada penjaminnya terutama pihak keluarga. Si penjamin meneken surat pernyataan bahwa seorang napi diasimilasi di keluarganya.

Yasonna mengaku tak gentar dengan gugatan hukum itu. Dia bahkan mempersilakan saja masyarakat yang berniat memperkarakan kebijakannya. “Ndak ada masalah, kami hadapi," katanya, menanggapi secara singkat kabar gugatan itu. (*)

Kebijakan Bebaskan Napi Digugat, Yasonna Tak Gentar

Selasa, 28/04/2020

Yasonna H Laoly. (Foto: merdeka.com/arie basuki)

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.