Selasa, 28/04/2020

Pemerintah Patut Waspada, Kelas Menengah Indonesia Rentan Jatuh Miskin karena Pandemi

Selasa, 28/04/2020

Ilustrasi Warga Miskin ( Foto: ANTARAFOTO)

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Pemerintah Patut Waspada, Kelas Menengah Indonesia Rentan Jatuh Miskin karena Pandemi

Selasa, 28/04/2020

logo

Ilustrasi Warga Miskin ( Foto: ANTARAFOTO)

KORANKALTIM.COM, JAKARTA -- Dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi virus corona (covid-19) membuat seluruh pemimpin negara di dunia sibuk mengambil kebijakan jaring pengaman sosial (social safety net). 

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki anggaran sekitar Rp110 triliun untuk perlindungan sosial ke berbagai program. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Paket Sembako, Kartu Prakerja, insentif pajak hingga diskon tarif listrik. 

Intinya, program-program ini memberikan bantuan tunai dan nontunai yang mampu menunjang kebutuhan 'perut' masyarakat dan komponen pengeluaran hidup sehari-hari.

Perlu diakui sudah banyak jurus-jurus yang dikeluarkan, namun apakah sudah cukup membuat masyarakat tenang? Rupanya belum. 

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan pemerintah sejatinya baru fokus pada masyarakat kelompok miskin saja. Padahal, dampak tekanan ekonomi pandemi corona menyasar ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk para kelompok menengah dan kaya. 

Untuk kelompok kaya, sebenarnya dampak tekanan ekonomi akibat pandemi corona lebih menyusahkan usaha mereka. Namun, perlu tetap diberi perhatian karena perusahaannya menjadi pegangan hidup para tenaga kerja. 

Sementara bagi kelompok menengah, menurut Fithra, bantuan negara kepada mereka penting karena menopang hampir setengah dari struktur ekonomi nasional. Hal ini merujuk pada data Bank Dunia yang menyatakan ada 115 juta orang Indonesia berada di kelas menengah atau hampir separuh dari total penduduk Indonesia di kisaran 260 juta.

Kelas menengah yang baru naik kelas, rentan kembali miskin bila tekanan ekonomi cukup besar. Dalam hal ini, pendapatan mereka kemungkinan besar tergerus di tengah wabah sementara pengeluaran mereka cenderung tetap.

"Kalau pemerintah ingin hindari konsekuensi yang besar ke perekonomian, saya rasa pemerintah juga harus fokus ke 115 juta orang ini," ujar Fithra, Selasa (28/4/2020), dikutip dari CNNIndonesia.com

Fithra tidak memungkiri bahwa ada beberapa kebijakan yang sebenarnya sudah dikeluarkan pemerintah untuk kelas menengah 'tanggung'. Misalnya, bebas pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekerja yang kini diperluas dari sektor manufaktur saja ke 18 sektor usaha lain. 

Sayangnya, kebijakan ini baru akan diterapkan, sehingga belum memberikan daya bantu ke masyarakat menengah 'tanggung'. Begitu pula dengan kebijakan tunda bayar cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), cicilan kredit kendaraan, hingga kartu kredit. 

"Nyatanya ini juga belum cukup membantu karena pada akhirnya leasing dan bank tetap pikir-pikir untuk memberikan karena menyangkut kepentingan bisnis dan rasio kredit bermasalah ke depan. Jadi kebijakan saat ini memang sudah menyasar ke debitur, tapi belum memberi jaminan penuh ke kreditur, maka mereka masih cenderung hati-hati memberikannya," terangnya.

Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu kembali memikirkan kebijakan lain guna membantu para masyarakat kelas menengah 'tanggung' yang juga menopang ekonomi Tanah Air selama ini. Mekanismenya, kata Fithra, bisa mencontoh Jepang. 

Mulanya, Presiden Jepang Shinzo Abe memberikan bantuan kepada masyarakat miskin sekitar 300 ribu yen Jepang atau setara Rp43,2 juta (asumsi kurs Rp144 per yen Jepang). Namun, parlemen ragu dengan kebijakan itu karena memperkirakan masih ada tumpang tindih data penerima dan dampak tekanan ekonomi sejatinya menyasar ke berbagai kalangan. 

Hasilnya, kebijakan diubah menjadi pemberian bantuan 100 ribu yen Jepang atau Rp14,4 juta ke masyarakat yang kalangan diperluas hingga kelas menengah. "Masalah Jepang ini (soal data ketepatsasaran penerima) sebenarnya sama dengan Indonesia, jadi bisa dipelajari," imbuhnya. 

Namun, Fithra turut menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tidak sekuat Jepang. Maka, perlu ada modifikasi dalam pemberian bantuan ke kelas menengah 'tanggung', seperti frekuensi yang lebih sedikit.

Pendapatan kelas menengah cenderung berkurang di tengah wabah sedangkan pengeluarannya sulit ditekan. (CNNIndonesia/Safir Makki).

Misalnya, saat ini bantuan kepada masyarakat miskin diberikan selama tiga bulan, maka ke kelas menengah 'tanggung' bisa diberikan hanya satu bulan saja. Begitu pula dengan nominalnya, bisa diberikan sesuai survei kebutuhan hidup. 

Hanya saja, hitung-hitungan Fithra, setidaknya pengeluaran mereka mencapai Rp1,4 juta per orang per bulan. Angka ini berasal dari estimasi pengeluaran masyarakat Indonesia mencapai Rp375 triliun per bulan dibagi 260 juta orang populasi Indonesia. 

"Jadi mungkin bisa dialokasikan juga anggaran ke aspiring middle income (kelas menengah tanggung) ini 115 juta dikali Rp1,4 juta sekitar Rp160 triliun. Rasanya ini lebih realitis dan berdampak ketimbang memanggung 260 juta orang," katanya. 

Fithra mengatakan kebutuhan anggaran untuk bantuan kepada kelas menengah tanggung bisa dipenuhi dengan berbagai sumber yang masih memungkinkan untuk digali. Mulai dari penerbitan surat utang negara yang kemudian dibeli oleh Bank Indonesia (BI) hingga 'sumbangan' para orang kaya di dalam negeri.

Estimasi Fithra, bank sentral nasional sebenarnya masih mungkin mengalirkan dana mencapai Rp1.000 triliun untuk pembelian surat utang negara. Pembelian bisa dilakukan karena sudah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

"Saya kira BI bisa mencukupi hampir Rp1.000 triliun (kebutuhan dana penanganan corona ke depan), atau kalau tidak separuhnya saja, Rp500 triliun juga sudah cukup. Ini best practice yang juga dilakukan di negara lain," katanya. 

Sementara untuk 'sumbangan' dari para orang kaya setidaknya bisa mencapai Rp1.000 triliun atau 1 persen dari total penguasaan mereka sekitar Rp10 ribu triliun di dalam negeri. Caranya, dengan menerapkan kebijakan partisipasi yang ditambahkan insentif bagi dunia usaha. 

Kebijakan bantuan kepada kelas menengah 'tanggung' perlu diberikan karena mereka rentan kembali miskin dan punya peran sebagai penopang perekonomian. Artinya, bila kalangan ini tidak juga mendapat perhatian, penurunan laju ekonomi Indonesia bisa lebih dalam. 

Proyeksi Fithra, skenario terburuk pertumbuhan ekonomi bisa mencapai minus 2,8 persen dengan jumlah pengangguran bertambah mencapai 7 juta sampai 8 juta orang. Bahkan bukan tidak mungkin meningkat dua kali lipat bila pandemi corona berlarut-larut. 

Senada, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memandang pemerintah perlu memberi perhatian kepada kelas menengah 'tanggung' karena mereka berada di ruang yang serba salah. Pertama, mereka tidak masuk kategori 20 persen masyarakat miskin, sehingga tidak bisa mendapat bansos pemerintah.

"Mereka berada di 25 persen sampai 40 persen kelas menengah, tapi mereka aspiring, rentan, bukan middle income dan upper middle income," katanya. 

Sayangnya, kedua, mereka kerap tidak terdata oleh pemerintah. Menurut Tauhid, sejauh ini pemerintah hanya memiliki sedikit data untuk kelas ekonomi ini. 

Bahkan, data penduduk miskin yang ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial pun belum diperbaharui secara berkala. Sementara data penduduk miskin dari Badan Pusat Statistik (BPS) belum menyeluruh ke 260 juta penduduk Indonesia. 

Ketiga, mereka juga mendapat tekanan ekonomi akibat pandemi corona. Bahkan, bukan tidak mungkin menjadi calon-calon pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Ada dari mereka (kelas menengah 'tanggung') yang tiba-tiba dirumahkan, di-PHK, tanpa pesangon. Padahal masih mencicil KPR dan sebagainya," ucapnya. 

Belum lagi, ada bayang-bayang peningkatan harga komponen pengeluaran harian atau inflasi bila pandemi corona berlarut-larut. Sementara pertumbuhan ekonomi justru terancam jatuh dalam, begitu pula dengan investasi yang berhubungan dengan penciptaan lapangan kerja. 

Dari sini, Tauhid melihat ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, meningkatkan daya restrukturisasi kredit untuk kalangan ini, seperti tunda bayar cicilan KPR dan kredit kendaraan. 

"Sepanjang mereka punya agunan atau minimal catatan investasi di beberapa instrumen, rasanya tidak apa diberikan dengan lebih longgar. Cara lain, memberi kredit baru dengan penurunan batas penghasilan, sehingga mereka punya sumber dana bila nanti tiba-tiba ekonomi semakin sulit," ujarnya.

Cara lain, dengan memberikan insentif lebih besar ke industri tempat mereka bekerja. Sebenarnya kebijakan ini sudah diberikan melalui perluasan bebas pajak ke pekerja di 18 sektor usaha. 

Namun, implementasinya perlu disegerakan. Bahkan, menurutnya, Kementerian Ketenagakerjaan perlu lebih tegas untuk menindak perusahaan yang langsung mengambil kebijakan PHK secara sepihak. 

Kebijakan lain di sektor pajak adalah dengan menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp64 juta per tahun menjadi Rp100 juta per tahun misalnya. "Meski berdurasi singkat, misal hanya sampai akhir tahun, setidaknya juga meringankan," tuturnya. 

Langkah lain, dengan turut memberikan bantuan yang menyasar ke sisi konsumsi para pemilik UMKM. Selama ini, kebijakan yang sudah dikeluarkan baru fokus ke pendukung usaha, padahal perlu juga memberi stimulus ke 'perut' para pengusaha kecil-kecilan. 

Menurut Tauhid, perhatian kepada kelas menengah 'tanggung' perlu diberikan karena berdampak jangka panjang ke ekonomi Indonesia ke depan. Tauhid melihat bila ekonomi kelompok ini jatuh, nantinya akan butuh waktu lebih lama bagi mereka untuk pulih. 

"Recovery kelas menengah perlu waktu yang lebih lama, masalahnya tidak mungkin perekonomian Indonesia tumbuh kalau kelas ini tidak bangkit. Bahaya lebih lanjut, harapan Indonesia naik kelas ke upper middle income pun semakin mundur," pungkasnya. (*)

Pemerintah Patut Waspada, Kelas Menengah Indonesia Rentan Jatuh Miskin karena Pandemi

Selasa, 28/04/2020

Ilustrasi Warga Miskin ( Foto: ANTARAFOTO)

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.