Kamis, 14/05/2020
Kamis, 14/05/2020
Ilustrasi ( Foto: Jamkesnews)
Kamis, 14/05/2020
Ilustrasi ( Foto: Jamkesnews)
KORANKALTIM.COM, Jakarta-- Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Mahkamah Nomor: 7 P/HUM/2020 membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur oleh Peraturan Presiden 75/2019.
Alasan MA, kala itu, pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan karena defisit terjadi karena kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan.
Namun, belum lama berselang, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Dalam putusan pembatalan saat itu, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja).
"Haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan," demikian pertimbangan majelis hakim ketika membatalkan kenaikkan, seperti dikutip dalam Putusan MA 7 P/HUM/2020.
Perkara atas putusan itu diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan tersebut diketok oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi masing-masing sebagai anggota.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menyatakan bahwa Perpres 75/2019 tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual pemerintah malah lebih menekankan pada penyesuaian iuran, dikarenakan defisit anggaran.
"Timbul pertanyaan, apakah dengan menaikan iuran BPJS dapat menyelesaikan permasalahan defisit anggaran secara permanen? Apakah masyarakat mampu untuk membayarnya?" demikian bunyi pertimbangan majelis hakim dalam salinan surat putusan.
Kemudian, berdasarkan fakta yang tak perlu dibuktikan lagi, ternyata untuk menutupi defisit anggaran BPJS tersebut, pemerintah telah beberapa kali melakukan penyesuaian dan menyuntikkan dana, akan tetapi anggaran BPJS Kesehatan masih defisit.
Oleh karena itu, menurut MA, ada akar masalah yang terabaikan dipertimbangkan, yakni manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
Sementara, Juru Bicara MA Andi Samsan mengatakan tidak akan mengintervensi langkah pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS kesehatan.
"MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," kata Andi, dikutip dari CNNIndonesia.com.
Andi mengatakan, MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang. Itu pun apabila ada pihak yang mengajukan gugatas atas suatu aturan ke MA.(*)
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.