Sabtu, 08/02/2020
Sabtu, 08/02/2020
Kepala Kpw-BI Kaltim Tutuk SH Cahyono, saat memberikan keterangan kepada wartawan di Samarinda, Jumat (07/02/2020)
Sabtu, 08/02/2020
Kepala Kpw-BI Kaltim Tutuk SH Cahyono, saat memberikan keterangan kepada wartawan di Samarinda, Jumat (07/02/2020)
KORANKALTIM.COM, SAMARINDA - Bank Indonesia, menyarankan Kaltim agar tak lagi bergantung pada India dan Tiongkok. Dua negara itu punya peranan penting karena sebagian besar ekspor Kaltim yang membentuk setengah dari struktur ekonomi Bumi Etam, dikirim ke 2 negara itu.
Sementara keduanya, sama-sama tak bisa menjamin kestabilan berdasar harga komoditas. Buktinya, proyeksi pertumbuhan ekonomi Kaltim, sebesar 5 persen pada akhir 2019 nyatanya meleset.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kaltim 2019 hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,67 persen.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (Kpw-BI) Kaltim Tutuk SH Cahyono menyebut, terjadi koreksi angka pertumbuhan. Meskipun, kata Tutuk, hal ini sudah tergambar pada pertumbuhan di kuartal 4 2019.
Tutuk mengatakan, berdasarkan catatan tersebut ada tingkat kelabilan ekonomi Kaltim.
"Pertumbuhan ekonomi kita tahunannya sudah bagus. Kita bisa lihat pertumbuhan nasional stabil. Kaltim perlu menjadi perhatian semua, karena kadang tinggi sekali kadang rendah, bahkan konstraksi," katanya dalam pertemuan membahas respons BI, terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Kaltim, di Samarinda Jumat (07/02/2020) kemarin.
Merujuk data BPS, dalam struktur ekonomi Kaltim, porsi sektor tambang dan penggalian sangat dominan mencapai 44,3 persen. Ini mendorong ekspor sangat dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiongkok sendiri, menyerap 30,63 persen ekspor emas hitam Kaltim.
Sementara India, menjadi surga bagi pasar Cruide Palm Oil (CPO) Kaltim. Apalagi, pasca penyamaan tarif bea masuk impor antara Indonesia dan Malaysia. Namun demikian, Tutuk menilai ekspor bahan mentah, tak bisa sepenuhnya dijadikan sandaran sebuah ekonomi jika ingin terus stabil dan sustainable.
Sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga relatif turun dan porsinya juga kecil. Meskipun ada kenaikan, dengan porsi hanya 0,28 persen maka dampaknya juga tak signifikan. Padahal, kata Tutuk konsumsi rumah tangga, bisa menjadi sandaran karena pertumbuhannya cenderung stabil dan tak bergantung pasar internasional.
"Tantangan ke depan, kita mampu menarik sebanyak mungkin investasi untuk mampu berinvestasi di produk yang terproses dan punya nilai tambah tinggi. Sehingga pertumbuhan stabil," tukasnya.
Ia berharap, ke depan ekspor tak hanya disandarkan pada produk mentah. Melainkan hasil industri pengolahan sehingga nilai tambahnya meningkat dan terjamin stabilitas harganya.
"Ekspor ke Tiongkok dan India tidak stabil. Ini yang membuat pertumbuhan kita tidak stabil. Karena permintaan naik turun. Dugaan kami makin mengecil ke depan," pungkasnya.
Penulis : Rusdi
Editor: M.Huldi
Kepala Kpw-BI Kaltim Tutuk SH Cahyono, saat memberikan keterangan kepada wartawan di Samarinda, Jumat (07/02/2020)
KORANKALTIM.COM, SAMARINDA - Bank Indonesia, menyarankan Kaltim agar tak lagi bergantung pada India dan Tiongkok. Dua negara itu punya peranan penting karena sebagian besar ekspor Kaltim yang membentuk setengah dari struktur ekonomi Bumi Etam, dikirim ke 2 negara itu.
Sementara keduanya, sama-sama tak bisa menjamin kestabilan berdasar harga komoditas. Buktinya, proyeksi pertumbuhan ekonomi Kaltim, sebesar 5 persen pada akhir 2019 nyatanya meleset.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kaltim 2019 hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,67 persen.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (Kpw-BI) Kaltim Tutuk SH Cahyono menyebut, terjadi koreksi angka pertumbuhan. Meskipun, kata Tutuk, hal ini sudah tergambar pada pertumbuhan di kuartal 4 2019.
Tutuk mengatakan, berdasarkan catatan tersebut ada tingkat kelabilan ekonomi Kaltim.
"Pertumbuhan ekonomi kita tahunannya sudah bagus. Kita bisa lihat pertumbuhan nasional stabil. Kaltim perlu menjadi perhatian semua, karena kadang tinggi sekali kadang rendah, bahkan konstraksi," katanya dalam pertemuan membahas respons BI, terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Kaltim, di Samarinda Jumat (07/02/2020) kemarin.
Merujuk data BPS, dalam struktur ekonomi Kaltim, porsi sektor tambang dan penggalian sangat dominan mencapai 44,3 persen. Ini mendorong ekspor sangat dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tiongkok sendiri, menyerap 30,63 persen ekspor emas hitam Kaltim.
Sementara India, menjadi surga bagi pasar Cruide Palm Oil (CPO) Kaltim. Apalagi, pasca penyamaan tarif bea masuk impor antara Indonesia dan Malaysia. Namun demikian, Tutuk menilai ekspor bahan mentah, tak bisa sepenuhnya dijadikan sandaran sebuah ekonomi jika ingin terus stabil dan sustainable.
Sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga relatif turun dan porsinya juga kecil. Meskipun ada kenaikan, dengan porsi hanya 0,28 persen maka dampaknya juga tak signifikan. Padahal, kata Tutuk konsumsi rumah tangga, bisa menjadi sandaran karena pertumbuhannya cenderung stabil dan tak bergantung pasar internasional.
"Tantangan ke depan, kita mampu menarik sebanyak mungkin investasi untuk mampu berinvestasi di produk yang terproses dan punya nilai tambah tinggi. Sehingga pertumbuhan stabil," tukasnya.
Ia berharap, ke depan ekspor tak hanya disandarkan pada produk mentah. Melainkan hasil industri pengolahan sehingga nilai tambahnya meningkat dan terjamin stabilitas harganya.
"Ekspor ke Tiongkok dan India tidak stabil. Ini yang membuat pertumbuhan kita tidak stabil. Karena permintaan naik turun. Dugaan kami makin mengecil ke depan," pungkasnya.
Penulis : Rusdi
Editor: M.Huldi
Copyright © 2024 - Korankaltim.com
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.