Sabtu, 09/05/2020

Sulit Ciptakan SDM Unggul, Pengamat Sebut Target Pendidikan Indonesia di Bawah Standar OECD

Sabtu, 09/05/2020

Ilustrasi ( Foto: Net)

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Sulit Ciptakan SDM Unggul, Pengamat Sebut Target Pendidikan Indonesia di Bawah Standar OECD

Sabtu, 09/05/2020

logo

Ilustrasi ( Foto: Net)

KORANKALTIM.COM,Jakarta-- Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Chairsmiadji menilai target pendidikan di Indonesia terlalu rendah. 

Dengan begitu, Indonesia kesulitan untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. 

Menurut dia,  masa pandemi virus corona (Covid-19) seharusnya jadi momen pemerintah memetakan masalah pendidikan.

Presiden Joko Widodo sendiri telah menunjuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk memetakan pembangunan SDM unggul dalam ranah pendidikan semenjak menjabat.

"Mengamati target yang ditentukan pemerintah, jelas-jelas belum bisa dikatakan unggul karena targetnya sendiri masih berada di bawah rata-rata negara OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) di tahun 2018," ujarnya, Jumat (8/5/2020).

Melansir CNNIndonesia.com, ungkapan tersebut mengacu pada target Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA Indonesia pada periode 2020 sampai 2035. PISA merupakan penilaian tingkat dunia yang dipakai untuk mengukur tingkat pendidikan global.

Rinciannya pemerintah menargetkan tahun 2020 sampai 2025 angka PISA Indonesia mencapai 396 untuk literasi, 288 untuk numerasi dan 402 untuk sains. 

Kemudian di tahun 2025 sampai 2030, angka PISA yang ditargetkan adalah 423 untuk literasi, 397 untuk numerasi, dan 408 untuk sains. Selanjutnya tahun 2030 sampai 2035, nilai PISA diharapkan mencapai 451 untuk literasi, 407 untuk literasi dan 414 untuk sains. 

Sedangkan mengacu pada PISA 2018, nilai rata-rata negara OECD adalah 487 untuk literasi, 489 untuk numerasi dan 489 untuk sains. Artinya masih di atas target Indonesia hingga tahun 2035.

"Unggul artinya lebih tinggi dari pada yang lain-lain, utama. Jika pemerintah mencanangkan program pembangunan SDM unggul, maka SDM Indonesia harus lebih pandai, lebih cakap. Lebih baik daripada SDM di negara-negara lain," tuturnya.

Mengintip nilai skor PISA Indonesia 2018, Indonesia memegang peringkat ke 74 dari 79 negara di dunia. Dengan nilai 371 untuk literasi, 379 untuk numerasi dan 396 untuk sains.

Jika dibandingkan dengan salah satu negara Asia seperti Vietnam, Indonesia juga masih tertinggal. Berdasarkan data dari World Bank 2018, setidaknya 55,8 persen anak Indonesia punya kemampuan membaca terendah atau level satu.

Sedangkan di Vietnam hanya 13,9 persen anak dengan kemampuan membaca terendah, dan negara OECD sebanyak 20,1 persen anak. Indra mengatakan ini menunjukkan bahwa lemahnya kemampuan belajar siswa Indonesia karena ketidakmampuan membaca dan memahami maknanya.

Untuk itu ia menilai pembenahan pendidikan di tingkat dasar harus jadi prioritas. Ini termasuk dari segi kemampuan pendidik, sarana prasarana, program dan anggaran.

Secara terpisah, tokoh pendidikan Arief Rachman menilai hal yang penting diperhatikan dalam pendidikan bukan hanya hasil akhir. Namun juga proses belajar siswa secara formal maupun informal.

Dalam hal ini ia mengatakan banyak potensi yang perlu dimiliki seorang siswa. Mulai dari spiritual, akal, jasmani, perasaan dan sosial. Artinya selain memberikan target kognitif atau kemampuan akal, ia menilai sekolah tidak boleh menelantarkan aspek afektif yakni sikap dan nilai.

"Mengapa afektif penting? Karena mengantarkan pengetahuan kognitif. Anak yang kognitifnya cerdas tapi afektif tidak baik, bisa kurang ajar," tuturnya melalui konferensi video.

Arief mengatakan dalam hal ini, peran guru, siswa maupun orang tua erat kaitannya dengan lajur pendidikan. Untuk itu guru dan orang tua harus cakap dalam membimbing siswa.

Ini termasuk memperhatikan suasana hati siswa ketika belajar, khususnya di tengah wabah dengan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Karena [kemampuan] belajar tidak akan muncul kalau tidak senang hatinya. Otak ini tertutup. Menurut ilmu otak, orang yang senang sel-selnya terbuka dan bisa aktif. Sel ini tidak bisa berjalan sendiri. Harus dikendalikan hati nurani," jelasnya.

Ia pun menilai dalam situasi pandemi evaluasi harus terus dilakukan selama PJJ. Ini dilakukan untuk memastikan seberapa jauh perbedaan capaian pendidikan karena dampak corona.

Survei yang dilakukan Kementerian Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan 58 persen anak tidak suka belajar dari rumah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengaku mendapat banyak laporan siswa stres karena tugas menumpuk selama PJJ di tengah pandemi.

Pelaksanaan PJJ sendiri masih mendapati berbagai kendala, mulai dari keterbatasan fasilitas, kesalahpahaman guru dan siswa tentang metode belajar, sampai komunikasi terputus karena kendala jaringan.

Kemendikbud sudah menyiapkan beberapa program seperti platform belajar dalam jaringan (daring) melalui Rumah Belajar, sampai belajar luar jaringan (luring) dengan televisi dan radio.

Namun metode-metode ini belum menyentuh siswa dengan disabilitas, anak berkebutuhan khusus, siswa SMK yang harus kerja praktek atau siswa di daerah tanpa listrik.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Al-Azhar Indonesia Asep Saifuddin sebelumnya menilai keadaan belajar di tengah pandemi bakal menciptakan kesenjangan atau ketertinggalan pendidikan.

Untuk meminimalisasi hal ini ia menilai pemerintah harus semaksimal mungkin menyediakan fasilitas pendukung, pelatihan PJJ untuk guru, dan kerangka evaluasi belajar selama pandemi. (*)

Sulit Ciptakan SDM Unggul, Pengamat Sebut Target Pendidikan Indonesia di Bawah Standar OECD

Sabtu, 09/05/2020

Ilustrasi ( Foto: Net)

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.