Senin, 03/09/2018

Aturan BPJS Melanggar Standar Profesi Fisioterapi

Senin, 03/09/2018

SHARING : Komisi IV DPRD Kaltim saat rapat bersama Pengurus Pusat Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), membahas masalah penghentian pelayanan fisioterapi bagi fasien dengan jaminan BPJS Kesehatan, sebagai tindaklanjut Komisi IV DPRD Kaltim setelah menggela

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Aturan BPJS Melanggar Standar Profesi Fisioterapi

Senin, 03/09/2018

logo

SHARING : Komisi IV DPRD Kaltim saat rapat bersama Pengurus Pusat Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), membahas masalah penghentian pelayanan fisioterapi bagi fasien dengan jaminan BPJS Kesehatan, sebagai tindaklanjut Komisi IV DPRD Kaltim setelah menggela

JAKARTA - Setelah menggelar Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPRD Kaltim dengan BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, dan Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) Wilayah Kaltim, Selasa (14/8), di Kantor DPRD Kaltim terkait penghentian pelayanan fisioterapi bagi fasien dengan jaminan BPJS Kesehatan, Komisi IV DPRD Kaltim segera menindaklanjuti hasil rapat tersebut dengan melakukan kunjungan kerja ke Pengurus Pusat IFI untuk sharing informasi mengenai permasalahan yang sama. 

Rombongan Komisi IV yang dipimpin Rusman Ya’qub disambut Ketua IFI Ali Imron berserta jajarannya. Dalam pertemuan tersebut disampaikan  Ali Imron bahwa peraturan baru yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang membatasi layanan fisioterapi merugikan pasien dan ahli pakar fisioterapi.

Sebab adanya kewajiban untuk memberikan layanan terbaik bagi para pasien, serta mengutamakan tindakan yang optimal untuk mempercepat proses penyembuhan dibatasi. 

Aturan baru BPJS Kesehatan yang seolah memangkas dosis perawatan yang direkomendasikan bagi pasien diperparah dengan keharusan para pasien untuk berobat ke dokter rehabilitasi medik sebelum fisioterapi juga dinilai menghambat proses penyembuhan. Keharusan dalam memperoleh tindakan dari dokter rehabilitasi medik itu dinilai melanggar undang-undang. 

Hal ini berdasar pada UU Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 57 butir pertama yang berbunyi, “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.”

Sedangkan peraturan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan yang mengatur tindakan fisioterapi, dinilai tidak sesuai dengan standar pelayanan fisioterapi. 

Contohnya saja, dalam kasus dimana pasien seharusnya menerima tindakan fisioterapi sebanyak tiga kali dalam sepekan, kini hanya dapat menerima dua kali dalam sepekan, sesuai batas maksimal yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Ditambah lagi jika setelah mengunjungi dokter spesialis, pasien harus melalui dokter rehabilitasi medik terlebih dahulu, baru mendapat tindakan dari fisioterapis.

“Dalam kasus sakit stroke, kalau dokter spesialis saraf menilai kondisi pasien sudah bagus atau sudah siap untuk mendapat layanan fisioterapi, seharusnya diperbolehkan untuk minta pelayanan fisioterapi,” ungkapnya. 

Semantara aturan baru yang diberlakulan BPJS saat ini tidak sesuai dengan standar profesi fisioterapi, sebagaimana yang tercantum di dalam UU. 

Dengan adanya aturan tersebut fisioterapi kehilangan pilihan untuk memilih apa yang terbaik bagi pasien berdasarkan keilmuannya. “Pilihan dokter rehabilitasi medik itu pasti berbeda dengan standar kami. Kalau kami ikuti aturan BPJS, artinya kami melawan standar,” tegasnya.

Ali melanjutkan, selain UU Nomor 36 Tahun 2014, kewajiban untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi juga diamanatkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 dan UU Nomor 44 Tahun 2009. Dilema antara melaksanakan amanat dalam UU atau mengikuti aturan main BPJS Kesehatan inilah yang memicu adanya kontroversi di balik peraturan baru yang diterbitkan BPJS Kesehatan. “Kalau saya melanggar standar, maka saya bekerja tidak dilindungi hukum. Sebaliknya, apabila kami mengikuti standar, nanti tidak akan diberi klaim oleh BPJS,” tuturnya. 

Maka dari itulah IFI memutuskan untuk menghentikan tindakan fisioterapi yang dibiayai BPJS. Sebab sangat jelas aturan itu merugikan ahli pakar fisioterapi dan juga pasien. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Ya’qub mengatakan untuk mengatasi masalah ini maka khusus di Kaltim diperlukan inovasi-inovasi yang bisa mengcover pelayanan yg dikurangi BPJS tersebut, termasuk menggunakan anggaran daerah jika memungkinkan.

“Inovasi ini harus menjadi solusi agar tidak ada yang dirugikan baik pasien maupun ahli pakar fisioterapi,” tuturnya didampingi Anggota Komisi IV Rita Artaty Barito, Syarifah Fatimah Alaydrus, Siti Qomariah, dan Marthinus. 

Selain itu, harusnya pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan. Kemudian Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. (adv/hms3)

Aturan BPJS Melanggar Standar Profesi Fisioterapi

Senin, 03/09/2018

SHARING : Komisi IV DPRD Kaltim saat rapat bersama Pengurus Pusat Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), membahas masalah penghentian pelayanan fisioterapi bagi fasien dengan jaminan BPJS Kesehatan, sebagai tindaklanjut Komisi IV DPRD Kaltim setelah menggela

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.