Senin, 21/10/2019
Senin, 21/10/2019
Petani Desa Muhuran, saat memanen padi dan merontokkan padi dari batangnya. (Rusdi/korankaltim)
Senin, 21/10/2019
Petani Desa Muhuran, saat memanen padi dan merontokkan padi dari batangnya. (Rusdi/korankaltim)
KORANKALTIM.COM, KUTAI KARTANEGARA - Belum banyak yang tahu, selain kawasan Tenggarong Seberang kawasan lumbung padi di Kutai Kartanegara (Kukar) juga salah satunya terletak di Kecamatan Kota Bangun, tepatnya di Desa Muhuran.
Berbeda dari kawasan persawahan ditempat lain, lahan sawah di Desa Muhuran berada di pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) Belayan.
Kepala Desa Muhuran Akhmad Nur mengatakan, setidaknya ada 158 hektare lahan persawahan yang digarap masyarakat, dengan rata-rata produksi 3 sampai 6 ton per hektar.
"Sekitar tahun 1980-an, kami pernah bersama-sama mengirim bantuan berupa gabah ke Ethiopia," ujarnya ditemui KoranKaltim.com Senin (21/10/2019) siang.
Sayang, kata dia penggarapan sawah di desanya sangat bergantung pada musim hujan. Karenanya, masa tanam juga terbatas, yakni hanya sekali tanam dalam satu tahun.
"Misalnya tahun ini, karena ada kemarau hasil panen turun sekitar setengah dari biasanya," tukasnya.
Sementara itu, Sofyan Edi warga yang menggarap sawah menjelaskan sedianya untuk mengatasi ketergantungan kepada air hujan, sudah disediakan pompa untuk irigasi. Tapi masalah tidak berhenti, pasalnya biaya operasional yang tinggi menyebabkan pompa bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kaltim itu tak bisa dimanfaatkan.
"Pompa itu milik provinsi, lalu biaya operasional yang diberikan kecil. BBM cuma cukup untuk manasi mesin. Kami pernah minta untuk diberikan ke Kabupaten supaya bisa dioperasikan dengan Alokasi Dana Desa (ADD), tapi tidak diberikan," katanya ditemui di Masjid Desa Muhuran.
Pompa itu, kata Sofyan sudah ada sejak 1997. Iuran dari para petani untuk biaya operasional juga tak mencukupi.
"Untuk operasional, perlu sekitar Rp7 juta untuk satu musim tanam. Berat juga kalau iuran," paparnya.
Padahal, kata dia padi yang ditanam dikawasan DAS hasilnya sangat maksimal. Bisa mencapai 1,5 kali lebih besar dibanding hasil sawah biasa. Selain itu, perawatan nyaris tak menggunakan unsur kimia, mulai dari pupuk hingga pembasmi hama. Karena, tanah DAS dianggap lebih subur.
"Sayang, sawah di DAS dianggap bukan sawah. Karena dianggap padi lebak. Jadi perhatian pemerintah juga kurang," ungkapnya.
Penulis : Rusdi
Editor : Desman Minang
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.