Selasa, 06/08/2019

Pesan Mbah Moen, Kalo Dakwah Jangan Galak-Galak

Selasa, 06/08/2019

KH Maimun Zubair

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Pesan Mbah Moen, Kalo Dakwah Jangan Galak-Galak

Selasa, 06/08/2019

logo

KH Maimun Zubair

KORANKALTIM.COM, JAKARTA - Kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) KH Maimun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia di Makkah, Selasa (6/8/2019) pagi tadi. Dia berpulang saat menunaikan ibadah haji 2019.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, sepanjang hidupnya, Mbah Moen dikenal sebagai seorang alim, ahli fikih, sekaligus penggerak baik di lingkungan organisasi keagamaan maupun pada kehidupan politik. Mbah Moen pernah berpesan dakwah selayaknya dilakukan secara damai, tak perlu keras dan galak. Menurutnya, kondisi hari ini berbeda dengan zaman perang di era sebelum kemerdekaan. "Kalau dakwah jangan galak-galak," kata Mbah Moen dalam acara silaturahmi Forum Alumni Santri Sarang (FASS) Jabodetabek di Kalibata, Jakarta Selatan, seperti dikutip Islami.co pada 7 November 2017. 

Menurutnya, para alim ulama perlu memilah dalil untuk memberikan motivasi dalam dakwah seseorang, sehingga dakwahnya menjadi lentur dan tidak marah-marah. Mbah Moen lahir di Rembang pada 28 Oktober 1928, bertepatan saat Sumpah Pemuda diikrarkan. Dia adalah pimpinan pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang. Mbah Moen merupakan putra Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Ayahnya merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Basis pendidikan agama Mbah Moen sangat kuat dipengaruhi dari orang tuanya. Dia meneruskan pendidikan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, Mbah Moen juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.

Mbah Moen mulai belajar ke Makkah pada usia 21 tahun. Saat itu dia didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuaib.  Di Makkah, mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Mbah Moen juga mengaji ke beberapa ulama di Jawa. Beberapa di antaranya kepada Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.  Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun. 

Selepas kembali mengaji dengan beberapa kiai, Mbah Moen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Mbah Moen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.

Pada bidang politik, dia menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.  Begitu selesai masa tugasnya, Mbah Moen mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama sekitar tujuh atau delapan tahun. Namun tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan oleh negara. Mbah Moen diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. (*)

Pesan Mbah Moen, Kalo Dakwah Jangan Galak-Galak

Selasa, 06/08/2019

KH Maimun Zubair

Berita Terkait


Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.